Judul :
Gesang Martohartono
Pengarang :
Firdaus Burhan
Penerbit :
Departemen pendidikan dan kebudayaan
Tahun Terbit :
1983/1984
Penyunting :
1. Drs. P. Wayong
2. Drs. M. Soenjata Kartadarmadja
3. Dra. Sutjiatiningsih
Desain sampul :
M. Soenjata
Jumlah halaman : 111 halaman
Jumlah bab : 6 bab
Jumlah halaman : 111 halaman
Jumlah bab : 6 bab
Proyek
Investasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, telah berhasil menerbitkan beberapa
jenis buku, salah satunya adalah buku biografi dan kesejarahan. Buku-buku ini
diselesaikan berkat adanya kerjasama antara para penulis dengan tenaga-tenaga
didalam proyek. Usahan penulisan buku-buku seperti ini dibuat guna membina
nilai perjuangan bangsa, kebanggan serta kemanfaatan nasional.
Berawal
dari proyek ini, IDSN membuat buku tentang biografi seseorang yang berpengaruh
dalam bidang budaya dan sejarah. IDSN mencoba untuk mengambil kisah sesorang
yang berpengaruh dalam bidang kesenian, yaitu Gesang Martohartono.
Gesang adalah
pencipta lagu Bengawan Solo. Ciptaan-ciptaannya, semuanya merupakam komposisi
vokal, yaitu nyanyian dalam bentuk kroncong langgam. Jumlah karangan lagunya,
sampai saat ini berjumlah sekitar sebelas atau duabelas lagu saja. Dan yang
menjadi sangat populer adalah lagu Bengawan Solo, Jembatan Merah, dan
Saputangan.
Ia tidak
membuat lagu-lagu perjuangan seperti komponis Corrnel Simanjuntak, Ismail
Marzuki, Ibu Sud dan lain-lain. Ia tidak membuat lagu-lagu pujian terhadap
tanah air atau ikrar terhadap negeri tumpah darahnya, sebagaimana yang
diperbuat antara lain oleh komponis Kusbini. Namun, ia memperoleh nama tenar
karena lagunya yang sederhana saja, yakni Bengawan Solo. Ketenaran itu
nampaknya bukan saja terbatas dalam wilayah tanah air Indonesia, melainkan
sampai pula ke negeri-negeri lain, terutama Jepang.
Gesang
sendiri tidak bisa membaca not-balok, dan tidak pandai dalam memainkan sesuatu
alat musik utama dalam orkestra, biola, piano, flute, kecuali memainkan suling
bambu yang dilaras dengan tangga nada diatonik.
Walaupun
tidak dapat memainkan salah satu alat musik orkestra, namun itu tidak
menghalangi nasib baik yang menghampiri Gesang. Ia mencintai seni karawitan,
musik tradisional tempat kelahirannya, Surakarta. Karena bidang pilihnnya itu
meliputi permusikan sistem diatonik, maka penilaian musikal terhadap Gesang,
sampai batas tertentu dituntut oleh persyaratan cipta-menyipta bidang
permusikan dunia yang mempergunakan sistem tersebut. Disinah letak penghargaan
kepada Gesang sebagai seorang komponis. Ia bukan saja menciptakan Bengawan
Solo, tetapi sekaligus konflid antara dua buah kenyataan yang sama-sama
kuatnya, tetapi tidak saling menunjang, dalam menilai kadar kompositoris pada
karya-karya musiknya.
Pada
tahun 1979, tiga juta masyarakat Jepang melihat pertunjukan Gesang pada acara “suara
karya” ditelevisi. Semuanya tanggap rasa terhadap lagu Bengawan Solo yang
dinyanyikan Gesang. Tidak dapat dipungkiri bahwa rasa haru mereka mendengarkan
lagu tersebut. Bukan semata-mata rangsangan keindahan melodi dari lagunya saja,
tetapi dalam lubuk kenangan mereka tergugah berbagai macam asosiasi dalam
kehidupan mereka.
Itulah
yang disampaikan Gesang kepada Penulis pada tahun 1983, sewaktu itu Gesang
berumur 66 tahun, dan dengan senang hati menceritakan kisahnya kepada penulis.
Gesang selanjutnya menceritakan kisah selanjutnya, ia
menciptakan nyanyian vokal bengawan solo pada bulan september 1940, ketika ia
berusia 23 tahun. Ia menyatakan sendiri bahwa lagu ini adalah kelompok lagu
yang pada masa itu dinamakan langgam keroncong. Bengawan Solo disusun dalam 32
birama. Gesang tidak menetapkan nada dasar khusus lagu tersebut, yang berarti
dapat dinyanyikan sesuai dengan kemampuan tentang suara setiap penyanyi, dan
menurut pilihan suasana yang dirasakan cocok dengan penggunaan tangga nada
tertentu. Secara tidak tertulis, Gesang menyadari bahwa hal tersebut selaras
dengan falsafah masyarakat Jawa.
Ada beberapa birama atau beberapa bagian lagu
Bengawan Solo yang mengalami perobahan dari melodi asli tatkala Gesang
menyanyikannya pertama kali pada tahun 1940. Gesang sendiri mempertahankan yang
menjadi kelaziman dinyanyikan itu sebagai melodi yang semestinya. Hal itu dapat
pula terjadi tatkala pencatat melodi yang dinyanyikan pertama kali oleh Gesang,
ia tidak memandang perlu untuk secara kritis menotasikan ciptaan tersebut
dengan setepat-tepatnya, karena sebagaimana telah dikatakan semula kebebasan
yang terbatas adalah ciri musik Indonesia, dimana hal itu banyak manfaatnya
yang positif.
Selain
menyiptakan melodinya. Gesang juga mengarang syair lagu Bengawan Solo itu
sendiri. Meskipun hanya merupakan beberapa kalimat yang nampaknya sederhana
saja, namun ia mampu membangunkan citra keluhuran sejarah yang amat luas.
Disekitar
tahun 1930 di kota Surakarta sudah banyak bermunculan orkes-orkes kroncong
kecil-kecilan, di samping yang besar. Menurut ukuran setempat pada masa itu,
orkes yang disebut orkes kroncong harus memenuhi syarat baku, ialah selain
memiliki biola, suling, gitar, string-bas, jukelele, dilengkapi pula dengan
alat-alat tiup. Orkes-orkes yang disebut kecil, adalah yang tidak mempergunakan
alat-alat tiup tersebut.
Nama-nama
orkestra kroncong pada zaman itu, antara lain, adalah Monte Carlo, Sinar Bulan,
yang kemudian pecah dua sehingga lahir pula orkes bernama Sinar Muda, dan
selanjutnya ialah orkes Bunga Mawar.
Sesorang
yang kemudian menjadi sesepuh salah satu dari perkumulan kroncong Bunga Mawar,
adalah Mamiek Martosudiro. Menurut kenang-kenangan Martosudiro, Gesang pada
masa mudanya memiliki gaya dan warna suara yang khas. Penyanyi-penyanyi terkenal pada masa itu,
antara lain, Kamto, S. Dimin, Samsidi, Ismanto, Suparto, Waluyo, dan Gesang.
Suparto dan Wahuhyo mengikuti gaya Samsidi, tetapi Gesang memiliki ciri
tersendiri.
Meskipun
usianya dengan Mamiek dan beberapa seniman kroncong seperkumpulannya, perbedaan
usianya seperti kakak dengan adik, mereka memanggil Gesang dengan panggilan
penghargaan “Embah Gesang”, karena pribadinya yang kaya senyum dan banyak diam.
Dia tidak mengelakkan senda gurau tersebut, tetapi keterlibatannya kedalam
guyonan anak muda itu, hanyalah menyertakan senyum saja. Dia diajak menyanyi
untuk keperluan membantu orang lain, untuk keperluan membantu orang lain, untuk
keperluan hajatan, senantiasa dikabulkannya tanpa pamrih. Kalau peribahasa
mengatakan, ia adalah orang yang cepat kaki ringan tangan dalam beramal kepada
orang lain.
Bila
kini manusia dimana-mana mendengar dua kata Bengawan Solo, maka pertama-tama
asosiasi fikirannya bukanlah sebuah sungai, tetap nada-nada melodi yang semula
diberi predikat langgam kroncong.
Di
Solo pula pertama-tama musik kroncong memperkenalkan gaya baru dalam tabuhan
yang bertingkatan, atau kendangan mempergunakan cello yang dipetik, bukan
digesek. Hasil dari kendangan tersebut, menghidupkan warna musiknya menjadi
lebih segar. Pemikirannya tidak jauh dari gaya musik karawitan, atau musik
gamelan, maupun permainan kotekan tradisional pada lesung.
Tatkala
seorang wartawati dari televisi yang kebetulan datang pula untuk mewawancarai
Gesang dan membuat film tentang Gesang, ia bertanya mengapa kroncong pada masa
lampau itu kedengarannya lebih mempesona dari yang sekarang, meski yang
sekarang ini lebih modern alat-alat musiknya, pakai dirigen, dan amplifier
segala.
Gesang
hanya tersenyum dan berkata sederhana, bahwa kemungkinan karena belum modern
itu, dan kroncong masih merupakan kroncong. Jawaban ini sangat besar artinya
dalam mengungkapkan hakekat kesenian kroncong yang sesungguhnya. Ia adalah
seumpama Bengawan Solo itu sendiri, pada awal alirannya yang jernih dan
beriak-riak keci di sela batu li lembah-lembah Gunung Seribu.
Keluarga
Gesang tinggal di Kampung Singosaren dalam kota Surakarta, pada hari Rebo Pon,
tanggal 1 Oktober 1917, keluarga pak Martodiharjo dikaruniai anak yang ke lima.
Oleh sang ayah bayi itu diberi nama Sutadi. Tidak ada gelar raden atau sesuatu
panggilan kehormatan lain yang menyertai nama anak itu, karena pak Martodiharjo
bukanlah kalangan bangsawan. Ia seorang pengusaha kecil yang menghidupi seluruh
keluarganya dari penghasilan membuat kain batik secara kecil-kecilan.
Dalam
keadaan perekonomian penduduk pribumi bangsa Indonesia yang berat dalam masa
Perang Dunia pertama itu, pak Martodiharjo masih pula harus memikul
tanggungjawab terhadap empat orang anaknya, sebelum Sutadi. Mereka adalah,
Resodiharjo, anak perempuan, yang hingga sekarang(1983) masih hidup dan berdiam
di Kampung Notodiningratan. Jumirah anak perempuan juga, tetapi sudah
meninggal. Jawatir, anak lelaki, sudah meninggal. Yasid yang kini(1983) juga
sudah meninggal, dan semasa hidupnya dahulu pernah terkenal pula di Solo,
sebagai pemain kiri luar dari perkumpulan sepak bola Persis Solo.
Namun
pak Martodiharjo tidak mau menyerah kepada kesulitan dan membiarkan keluarganya
terhambat oleh rintangan-rintangan. Ia berusaha sekuat tenaga menurut kadar
kemampuannya, dan ingin mengatasi segala kesulitan masalah rumah tangga yang
kadang-kadang disebabkan oleh perekonomianya yang menyesakkan nafas itu, secara
tenang dan tidak diketahui anak-anaknya. Baginya berlaku pedoman lama, “makan
atau tidak makan, asal berkumpul”. Meskipun kemakmuran materil itu penting
untuk menunjang penghidupan, tetapi kerukunannya dan kebersamaan dalam satu
keluarga dirasakannya lebih penting lagi. Terlebih lagi, isteri yang
dicintainya telah meninggal tatkala anaknya yang nomor lima baru berusia empat
tahun. Sebelum meninggal, almarhumah menderita sakit-sakitan setelah anaknya
yang bungsu ini lahir, sehingga anak itu banyak diasuh oleh pembantu rumah
tangga mereka, yang dipanggil dengan sebutan “Mbok Bon”. Jangan pula diukur kehadiran
seorang pembantu rumah tangga dalam keluarga pak Martodiharjo itu sebagai
gejala orang yang terlalu mampu. Menurut kebiasaan dikota-kota besar. Dimana
hubungan antara pembantu dengan orang rumah adalah hubungan buruh dengan
juragan.
Keadaan
penghidupan dan sosial ekonomis yang mendesaklah yang membuat seakan-akan rumah
tangga bangsa pribumi seringkali pula menampung sanak keluarga agar tidak
terlantar, meskipun bangsa Eropa menamakannya kebiasaan parasit. Kodrat dan
pengaruh dari rasa kebersamaan, kegotong royongan yang bersifat kosmis itu
meresap pula sampai-sampai kepada alam fikiran masyarakat Jawa, seni sastranya,
puisi dan karawitannya. Dan inilah yang membuat sikap mereka tidak menyukai
perpecahan yang azasi.
“Banyak
anak, banyak rezeki”, bukan saja menjadi ucapan orang Indonesia, tetapi bangsa
Eropa pun mempercayainya pula, terbukti dari ucapan dalam bahasa mereka, “Hoe
meerzielen hoe meer vreugd”, atau “the morfe the merrier”, meskipun masyarakat
kita percaya bahwa yang banyak itu adalah rezeki.
Pak
Martodiharjo belum menemui pada zamannya itu suatu kampanye mengenai keluarga
berencana dalam pemerintahan kolonial atas kepulauan Indonesia yang berpenduduk
enampuluh juta jiwa. Perkawinannya dengan isterinya dulu wanita sederhana yang
berasal dari Pedan itu, adalah dengan menjunjung tinggi segala azas tujuan
menegakkan rumah tangga sambil mengindahkan segala yang hak dan haram menurut
agama, dengan memperhatikan naluri bibit-bebet-bobot warisan leluhur. Anak yang
dilahirkan adalah karunia Tuhan, titipanNYA, maka harus dijaga dan dididik
baik-baik.
Suami
isteri itu menyayangi kelima orang anaknya tanpa pilih kasih, dan keadaan
mereka memang cukup rukun dan bahagia. Bukan pula berarti bahwa hidup yang
dilaluinya selalu mulus tanpa onak dan durinya. Tetapi, meskipun pak
Martodiharjo tidak mengenal ilmu pendidikan dan ilmu jiwa, namun falsafah hidup
yang diterimanya dari leluhurnya, menahan suami isteri itu untuk bertengkar
didekat anak-anaknya. Dalam keadaan maraha, pak Martodiharjo hanyalah diam
saja, meskipun air mukanya tidak memperlihatkan perubahan yang terlalu nyata.
Hal ini merupakan unsur pendidikan kepada anak-anaknya agar tidak menghamburkan
nafsu sehingga mengorbankan adab dan kepribadian, karena tidak dapat mengekang
emosi. Amanat leluhur mereka, kalau dalam suatu pertengkaran pihak yang
pertama-tama menutup mulut, itulah pertanda orang yang berbudi luhur.
Isteri
pak Martodiharjo kesehatanya makin menurun setelah melahirkan anak terakhir.
Ditambah lagi sibayi menderita penyakit yang cukup berat. Berbagai usaha
pengobatan tradisional telah dilakukan, tetapi suami isteri itu hanya dapat
berlinang air mata, karena sang anak tidak menampakan gejala membaik dari
sakitnya. Menurut kepercayaan mistik, kemungkinan nama yang disandang sang anak
tidak cocok kepadanya, hendaklah diganti dengan nama lain. Begitu besar harapan
dan hasrat sang ayah dan ibu beserta seluruh keluarga, agar si kecil itu
dikarunai Allah kelangsungan hidup. Maka bersepakatlah mereka untuk memberikan
nama lain kepada si kecil. Kalau anak tersebut sembuh kelak akan diadakan
selamatan bubur merah putihmengganti doa serta harapan mereka kepada si jantung
hati, yakni Gesang, yang artinya hidup.
Hidup
bukan hanya sekedar hidup untuk bernafas, makan dan minum, tetapi hidup dalam
arti kata hidup yang bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. Inilah hasrat yang
menyertai upacara tradisional sederhana mengganti nama Sutadi dengan Gesang.
Keajaiban
itu pun diturunkan Tuhan kepada keluarga yang beriman itu, anak kecil itu
sembuh, berangsur kuat kembali dan akhirnya sehat walafiat. Peristiwa inilah
yang merupakan suatu pengalaman yang paling indah dalam keluarga Martodiharjo
yang tidak kaya dalam materi, tetapi kaya dengan rasa bersyukur kepada Allah.
Gesang
tumbuh sebagai kanak-kanak yang normal, tetapi karena ibunya yang
sakit-sakitan, ia banyak diasuh oleh Mbok Bon. Seperti diceritakan dimuka.
Tetapi pada usia balita, masih sangat rindu akan kasih sayang ibu. Tetapi
takdir telah menentukan lain, karena ibunya meninggal dunia. Masih terlalu muda
sang ibu pergi untuk selama-lamanya. Gesang sebagai kanak-kanak yang baru
berusia empat tahun, pada saat peristiwa itu belum merasakan betul kemalangan
yang menimpa keluarga mereka. Tetapi ayahnya, pak Martodiharji, bumi tempat
berpijak seakan amblas dibawah telapak kakinya, dan seluruh pojok rumah
tiba-tiba kosong dan gersang. Tiada lagi orang yang disayanginya, pendamping
akrabnya dalam suka dan duka menempuh liku-liku penghidupan. Teringat semua
kepadanya suara khas yang hanya dia sendirilah yang mendambakannya, suara sang
isteri, tatkala mereka bersuka, dan pada saat-saat yang tegang. Kini, ingin
didengarnya kembali, bahkan suara sang isteri tatkala tatkala agak marah, ingin
diresapkannya walau agak sejenak saja, namun semua itu tidak akan terulang
lagi. Semakin hari semakin jauh perpisahan itu terjadi, walau dalam kenangan
tak hendak dilepaskan oleh ayah yang malang itu.
Tak
dapat ia memicingkan mata, samapi kelelahan yang amat sangat melenakannya dalam
tidur yang gelisah. Ditenga malam yang larut ia terbangun dan berlinang air
mata, membuka jendela, yang biasa dibuka oleh tangan almarhumah isterinya
selagi masih hidup. Timbul berbagai penyesalan dalam hatinya, terkenang akan
perbuatan-perbuatan kecilnya yang menjadikan sang isteri bersedih atau kecewa.
Kini ia ingin menebusnya walau dengan paroham nyawanya sendiri, namun semuanya
sudah berlalu dan tak akan kembali lagi. Bintang-bintang yang berkelap-kelip
dilangit ditatapnya seakan wajah isterinya yang tersenyum sayu membujuknya.
Anak-anak
dibawa ayahnya berziarah ke makam almarhumah ibu mereka. Mereka sudah cukup
besar, terutama anak-anak perempuan, tidak kuasa membendung tangannya sambil
menggumaman kata-kata yang memilukan hati. Mereja kehilangan sesuatu yang
melibihi segala nilai dan kekayaan harga dunia, yakni ibu yang tak mungkin
dapat diganti dengan siapapun. Tanah yang masih merah itu seakan duka pada
perasaan mereka yang terluka. Kini, si kecil anak yang paling bungsu itu, mulai
memperlihatkan gejala yang aneh-aneh seakan bathinnya berkata dan berbisik
mengenai kemalangan yang tiada tara dialami bocah itu, meskiun mulutnya hanya
sekali-sekali menjerit “..ibu-ibu”, kemudian menangis tiada bersebab. Mbok Bon
yang setia itulah yang menggendongnya pergi sambil mengalihkan perhatiannya
kepada apa saja yang disangkanya dapat menghibur si bocah.
Tanah
dibawah lindungan pohon bungan kamboja itu berangsur menua warnanya dan
tinggalah pohon bungan kamboja itu berangsur-angsur menua warnanya dan
tinggalah sebuah batu nisan yang menandai peristirahatan yang terakhir bagi
almarhumah.
Setiap
kali berziarah, pak Martodiharjo menyadari bahwa hidup didunia itu hanyalah
sebentar, dan tidak ada sesuatu apapun yang kekal dalam alam yang fana ini. dia
sendiripun semakin hari semakin parak juga kepada alam baka, dimana isterinya
telah mendahului berangkat kesana. Manusia mati harus meninggalkan amal yang
baik dan nama yang baik. Dunia dijinjing, akhirat dijunjung. Kematian isterinya
mau tak mau berpengaruh besar terhadap semangatnya untuk mencari nafkah.
Keadaan perdagangan kain batik dan perekonomian pengusaha kecil tambah terjepit
oleh pengusaha-pengusaha besar yang bermodal kuat Pak Martodiharjo yang sudah kehilangan tangan kananya itu,
merasakan pula pukulan keadaan. Tetapi anak-anaknya dan kenangan kepada
isterinya menghalau rasa putus asa dan kelemahan. Ia meneruskan usahanya dengan
bantuan anak-anaknya. Berbahagialah orang-orang yang sempat bersua dengan ibu
mereka sampai saatnya ibu dapat menimang-nimang cucunya. Tetapi berbeda dengan
takdir pada keluarga Pak Martodiharjo.
Untuk
menghibur hatinya, Pak Martodiharjo selesai bekerja mengurus usaha batiknya,
dalam waktu-waktu yang senggang pada malam hari, menyibukan diri dengan tembang
Jawa dan pada kesempatan terntentu berkumpul dengan masyarakat di kampungnya
mengadakan salawatan.
Lingkungan
hidup keluarganya adalah lingkungan orang-orang baik. Mereka sangat menjaga
nama dan tingkah laku mereka yang sesuai dengan harkat dan martabat orang-orang
yang menjadi kepercayaan dalam lingkupan istana.
Tembang
Jawa yang merupakan bagian dari karawitan Jawa, merupakan jalan untuk
pendidikan yang mengaluskan budi pekerti manusia. Kebudayaan rohaniah dan adab
dapat mengahaluskan pendengaran, karena pancaindera yang halus pula.
Pancaindera manusia yang paling tinggi harkatnya adalah penglihatan dan
pendengaran. Penglihatan memberian
pengaruhnya kepada fikiran dan akal, sedangkan pendengaran meresap dan
berpengaruh terhadap perasaan dan akhlak. Sebagaimana lapisan terbesar
anak-anak Jawa pada zaman Pak Martodiharjo menerima pendidikan dari lingkungan
alam sendiri, karena dalam tindak tanduk mereka tidak ketinggalan menyanyikan
tembang karawitannya.
Gesang
yang sudah mencapai usia sekolah, beserta saudara-saudarnya, senantuasa
terdidik pendengarannya dengan tembang yang dikumandangkan oleh sang ayah. Namun
pak Martodiharjo, merasa bahwa kesenian itu hanyalah merupakan alat saja
guna memperhalus budi pekerti, sedangkan
yang sungguh-sungguh mampu mengendalikan nafsu serakah dan sifat-sifat yang
hanya mementingkan diri sendiri dalam diri manusia, hanyalah agama. Karena
itulah anak-anaknya diasuh bersembahyang lima waktu dan mengaji kitab suci Al
Quran.
Martodiharjo
adalah orang yang terkenal dengan ramah tamah dan tidak pernah berselisih
dengan para tetangga. Meskipun dalam mendidik anak-anaknya ia tidak selamanya
memberikan kemanjaan, tetapi sekali-sekali mengencangkan kembali disiplin yang
agak keras terhadap mereka. Tapi, sebagaimana kata Gesang sendiri, mereka
sangat cinta kepada ayahnya itu.
Pusat
pendidikan yang pertama adalah keluarga dan rumah tangga dan yang kedua adalah
rumah sekolah atau perguruan, yang ketiga yaitu pergaulan dan perkumpulan
sesama remaja. Akan tetapi bagi Gesang sudah tidak lagi mengenyam pendidikan
yang sejati dan tulus ikhlas dari ibunya. Sebagai anak piatu, ia menerima kasih
sayang dari anggota keluarga bahkan sedikit dimanjakan ayah serta kakak-kakanya
dan sanak famili yang lainnya. Anak-anak sebaya Gesang harus bersekolah untuk
bekal hidupnya apabia berdiri sendiri kelak dalam masyarakat. Mengaji dan
bersembahyang tidak ditinggalkan, dan ilmu duniawi kini sudah tibalah pula
saatnya untuk dikuasai.
Meskipun
keadaan penghidupan bertambah berat, dan
biaya sekolah cukup mahal bagi anak-anak pribumi, namun pak Martodiharjo telah
memilih sekolah bagi Gesang, yaitu sekolah dasar Muhammadiyah. Nama perguruan
tersebut ialah Standard school
Muhammadiyah, letaknya adalah dikampung Punggawan, di depan Museum Pers
sekarang(1983).
Sebagaimana
dimaklumi, tokoh pendiri Muhammadiyah Kyai Haji Akhmad Dahlan, adalah orang
yang bertutur kata lemah lembut, berhati ikhlas dan penyabar. Ia memiliki
pengetahuan yang luas dan pandangannya mengenai agama tidaklah sempit dan
kolot. Tokoh Muhammadiyah yang mempunyai pengaruh besar itu, mengatakan keliru
bahwa orang islam itu hanyalah bersembahyang dan beribadat saja, dan melupakan
kehidupan duniawinya. Tohoh itu memiliki cara pendekatan kepada agama
bersdasarkna akal, dan ilmu pengetahuan. Tahun 1923 Gesang mulai bersekolah.
Bersama kawan-kawannya yang sebaya dari kampung Singosaren setiap hari ia
berangkat menuju kampung Punggawan tempat Standard
school Muhammadiyah ia berjalan kaki pergi dan pulang dari sekolah. Lama
perjalanan kira-klra 15 menit. Tetapi seringkali benra tatkala berangkat ke
sekolah Gesang hanya sendirian, karena berbagai macam sebab dan kesempatan.
Ia tidak
memakai sepatu atau sandal, melainkan dengan kaki telanjang saja ke sekolah.
Pakaian yang dikenakannya adalah jas tutup dari bahan drill dengan
kancing-kancing besar dan sarung batik. Tetapi karenaa keadaan, Gesang hanya
memiliki satu dua setelan pakaian saja. Maka ia harus hemat dan hati-hati, agar
tidak lekas kotor dan lekas robek. Maklumalah, pada zaman itu sangat terkenal
taraf penghidupan pribumi yang sangat sederhana, sehingga ada yang mencela
pemerintah Belanda, bahwa penduduk bumiputera hidup dari uang sebenggol atau
dua setengah sen sehari. Sampai-sampai penelitian medis dikalangan keluarga
bangsawan kraton pun, ditemukan kenyataan bahwa putera-putera pangeran juga
mengalami keadaan “onderwood”, yaitu kurang gizi. Kalau putera-putera bangsawan
yang keadaan keuangannya lebih baik dari orang-orang yang berada dibawah
tingkatan itu masih juga menderita kurang gizi dalam zaman kolonial, apalagi
anak-anak priayi yang menjadi teman-teman sekampung dan sepergaulan Gesang.
Ia
bersekolah dari jam setangan delapan pagi hingga jam satu siang. Lazimnya
sebagaimana anak-anak sekolah dasar yang kadang-kadang sambil berlari dan
bersendau gurau pulang dari sekolah.
Sesampainya
dirumah, pakaian sekolah dibuka dan diangin-anginkan agar dapat dipakai kembali
keeskokan harinya. Ia mengganti pakaian dengan pakaian rumah. Tetapi sebelum
itu, begitu ia sampai di ambang pintu, pertama-tama dilakukannya adalah
berteriak minta makan kepada si Mbok Bon. Ayahnya yang biasanya sudah berada
dirumah hanya dengan senyum dalam hati memperlihatkan kenakalan yang wajar dari
anaknya itu.
Gesang
makan mempergunakan sebuah sendok saja tanpa garpu, pagi-pagi sebelum pergi
sekolah, ia mendapatkan sarapan berupa sepiring nasi dengan lauk pauknya.
Seusai makan ia mencari bapaknya dan meminta uang jajan untuk di sekolah.
Biasanya dari sang ayah yang menaruh rasa iba yang khusus kepada putera
bungsunya ini, diberikan uang yang cukup banyak untuk ukuran orangtua, Gesang,
yakni dua sen. Tetapi dengan uang dua sen pada zaman itu, jangkauannya cukup
lumayan. Gesang membeli jajanan berupa minuman cao, seharga setengah sen, dan
yang selebihnya ia memperoleh belangreng (kaspe goreng), bakmi bungkus ketan
dan kacang goreng.
Gesang
tidak setiap hari ia menerima uang jajan sebanyak dua sen itu. Kadang-kadang
kurang dari itu bahkan kadang-kadang tidak mendapatkan uang jajan sama sekali.
Kalau tidak mempunya uang saku
bagaimana, tanya penulis kepada Gesang. Kalau tidak mempunya uang, ya, diam
saja, jawab Gesang. Inilah ajaran dari orang tuanyya, agar jangan selalu tangan
itu berada diatas. Maksud dari fatwa ini adalah agar anak-anaknya jangan hanya
meminta dan mengharapkan pemberian orang lain saja, tetapi wajib pula mempunyai
harga diri, dengan cara memberi kepada orang lain. Tangan yang diatas iu lebih
baik dari pada tangan yang dibawah.
Sebaliknya
begitu pulalah keadaan dengan keadaan kawan-kawannya, apabila mereka sedang
tidak mempunyai uang jajan, merekapun pergi menjauh dari tempat orang-orang
berjualan, agar tidak menerbitkan selera dan tidak ditawari jajan oleh
kawan-kawan lain.
Selesai
makan suang setelah pulang sekolah, Gesang pergi ke tempat teman-temannya untuk
bermain. Ada beberapa nama yang masih diingat dalam kenangannya, yaitu Sayono,
Wiyono, Wiyadi, Jimin dan Jombo.
Tetapi
yang masih hidup sampai saat ini(1983) adalah Sayono, anak Puspopradonggo abdi
dalem kraton Kasunanan, yang menurut keterangan saat itu bekerja pada sebuah
hotel di Solo.
Jenis-jenis
permainan pada masa itu yang digemari anak-anak adalah aduk kecik(biji sawo kecik), permainan
mote, yaitu bahan untuk main
oncang, main jirak dan “O-O”, main kekeran atau kelereng, main layang-layang dan gansing.
Sesudah
bermain biasanya ia pergi mandi dan pergi tidur. Untunglah penerangan listrik
sudah ada dirumah mereka, sehingga untuk belajar malam dan mengerjakan
pekerjaan rumah dapat dilakukannya dari jam delapan selesai sembahyang Isa. Dia
masih ingat dirumahnya ada jam besar dengan angka-angka romawi dan bunyi
loncengnya yang belum seindah lonceng-lonceng zaman sekarang(1983).
Adapun
makan malam keluarga itu selalu dilakukan setelah selesai saat maghrib. Kalau
ada diantara seperadik Gesang yang makan pada saat berebut senja, lalu ayahnya
menasehatkan. Gesang hanya sempat menikmati bangku sekolah pada saat itu sampai
kelas lima saja. Gesang tidak dapat menyesali keadaan, semua sudah ada
skenarionya, dan manusia harus berikhtiar sekuat mungkin, kalau usaha sudah
habis dijalankan, kita tidak dapat berbuat lain kecuali menghadapi kenyataan
dengan tenang dan tetap bersyukur kepada tuhan Yang Maha Esa.
Ketika
Gesang duduk dikelas V, ia mengalami sakit keras hingga tiga bulan. Tidak pula
berobat kepada dokter melainkan memakai obat-obat tradisional saja. Akibatnya
ia terpaksa diturunkan kelas dari kelas V ke kelas IV kembali. Karena
pertimbangan daya kemampuannya yang sudah dianggap akan merugikan dirinya
sendiri, kelak kalau akan diteruskan juga dikelas V padahal selama tiga bulan
ia tidak dapat mengikuti pelajaran penting.
Orang
yang paling akrab dan paling menyenangkan baginya adalah ayahnya sendiri,
meskipun si bapak ada kalanya keras sikanya. Gesang mengatakan bahwa justru ia
merasa hormat, sayang dan suka menurut kata ayahnya.
Diantara
guru-guru disekolah yang disenanginya adalah mas guru bernama Joyosukarto, guru
kelas lima atau kelas penghabisan pada perguruan Muhammadiyah tempatnya
bersekoah itu. Pada hakekatnya semua guru sekolahnya itu sama menyenangkan
baginya. Mereka terdiri dari pria semua dan masih muda-muda. Murid-murid
memanggil para guru itu dengan panggilan mas guru.
Pelajaran
yang paling menarik baginya adalah tembang Jawa dan menggambar. Ia lemah dalam
pelajaran berhitung dan tulisan juga cuma dapat angka lima, paling tinggi enam.
Gesang
tidak pernah berkelahi dengan teman-teman di sekolahnya. Selain dari wataknya
yang penyabar dan suka mengalah, juga karena hati kecilnya menyuruh ia menjaga
kebaikan tingkah laku sebagai anak yang kurang mampu. Hanya dengan
saudara-saudaranya kadang-kadang suka berkelakar menyembunyikan
layang-layangnya, umpamanya, ia pernah sekali-sekali bertengkar.
Selama
masa kanak-kanaknya Gesang pernah satu kali berpergian agak jauh dari kotanya,
yaitu ketika berdamawisata bersama kawan-kawan sekolahnya ke Wonogiri dan
Prambanan. Gesang masih ingat mas guru yang memimpin perjalanan tersebut ialah
Djoyosuharto. Selama perjalanan yang menggembirakan itu, tentunya masing-masing
tertarik kepada obyek yang berbeda-beda. Bagi Gesang, alam yang indah sepanjang
jalan adalah sungai yang mencurahkan airnya ke Bengawan Solo tatkala ke
Wonogiri. Juga para petani yang sibuk mengerjakan sawah, anak gembala yang
menggiring ternak bebeknya yang ratusan jumlahnya Candi Prambanan yang
merupakan catatan masa lampau itu, meninggalkan pengaruh yang tak terlukiskan
dengan kata-kata dalam hatinya. Dia menyaksikan pemandangan baru, kehidupan
nyata yang lebih luas dari apa yang pernah diserap oleh kehidupan nyata, dan
yang lebih luas dari apa yang pernah diserap oleh pancaindera dan ditangap oleh
hati nuraninya adalah ia melihat anak yang sudah piatu, yang mengingatkan dia
kepada nasibnya sendiri.
Dia mendengarkan
pula di desa Prambanan merdunya suara suling yang melagukan lagu-lagu karawitan
yang sangat disenanginya. Senandung itu dalam pendengaran batinya agaknya telah
diserapkan sejak dahulu, tatkala ibunya menggendongnya sebelum tidur. Aneh dan
sangat halus pesona suling itu. Seperti terlelapkan ia kedalam khayalan yang
indah, terngiang-ngiang sampai nada-nada penghabisan meski matanya sudah
terpejam.
Pada
zaman Gesang berseklah, sampai tahun 1929, di solo belum terdapat pesawat
radio. Orang-orang tertentu yang mampu, memiliki gramafon yang mempergunakan
piringan hitam. Alat ini sendiri merupakan benda yang aneh bagi anak-anak
sebaya Gesang. Lagu-lagu yang diperdengarkannya lebih-lebih lagi mengherankan
dan menyenangkan. Karena itulah hampir merupakan acara khusus baginya untuk
pergi pada saat-saat tertentu ke depan toko yang menjual gramafon. Untuk
menarik selera masyarakat itu, penjualnya memutarkan adegan-adegan wayang orang
serta gending-gending yang populer di Solo.
Gesang
sendiri belum berminat kepada musik kroncong. Karena baru sekitar tahun 1930
lahir perkumpulan-perkumpulan kroncong di Solo, seperti Marko (Marsudi Rukun
Kesenian Olahraga), Monte Carlo, Bunga Mawar, Irama Sehat dan lain-lain
perkumpulan-perkumpulan kecil yang cepat berkembang.
Saat
meninggalkan bangku sekolah untuk selama-lamanya, merupakan kenangan yang
mengharukan pula bagi Gesang. Selama kurang lebih enam tahun ia memperoleh
pendidikan dari perguruannya, “Standard School Muhammadiyah” di kampung
Punggawan tersebut. Enam tahun memang waktu yang berlenihan, karena sebagaimana
diceritakan di muka, Gesang pernah menderita sakit yang lama dan terpaksa turun
kelas. Dia sendiri mengatakan bahwa kemampuannya tidak sekuat anak-anak yang
lain, teman-temannya yang beruntung dapat melanjutkan pelajaran pada sekolah
yang lebih tinggi dan sampai berhasil menduduki jabatan-jabatan terhormat
sebagai priayi.
Mulai
dari bocah cilik yang buta huruf, guru-guru telah melakukan tugas kewajibannya
dengan tekun sampai Gesang dan teman-temannya dapat membaca dan menulis,
berhitung. Pendek kata segala jenis bekal ilmu bagi dunia dan akhirat yang amat
berguna bagi mereka setelah dewasa kelak, diberikan kepada mereka. Kawan-kawan
seiring sepergaulan selama ini, yang pasti berjumpa hampir setiap kali di
sekolah, dalam perjalanan pulang pergi, kini akan saling berpisah. Dia tidak
akan mendengarkan lagi suara lonceng berbunyi menandakan kelas dimulai, saat
berisitirahat dan membelanjakan uang dua sen yang membuat dirinya merasa
bahagia, dan menandakan saat pulang ke rumah masing-masing. Gurunya, mas Sadat
Joyosukarto, berlinang air mata ketika mengucapkan kata perpisahan yang singkat
tetapi mengesankan. Anak-anak pun tidak dapat menahan rasa harunya. Alangkah
besarnya nilai pergaulan yang penuh kenangan dan cita-cita yang luhur ini. Jika
suatu ketika ia melewati berkas sekolahnya tentu akan mendengarkan murid-murid
menyanyikan tembang Jawa yang selama bertahun-tahun yang lalu pernah pula
mendidik perasaan dan wataknya. Alangkah banyaknya pertemuan dan peristiwa
perpisahan semasa hidup yang menyentuh rasa haru kita pada lubuk hati
sedalam-dalamnya, tutur Gesang.
Dalam
usia 18 tahun, Gesang mulai belajar bernyanyi. Bukan memasuki kursus musik atau
semacamnya, karena pendidikan demikian belum ada di Solo pada tahun 1935 itu.
Gesang belajar menyanyi dengan cara mendengarkan orang menyanyi serta
memperhatikan semua gerak-geriknya. Diperhatikannya pula penyanyi yang memiliki
warna suara yang menyenangkan. Dihafalkannya pula syair dari lagu-lagu yang
memikat hatinya. Nyanyian serta musik bernada diatonik, yang nada-nada pokonya
hampir sejalan dengan laras pelog tujuh nada dalam musik karawitan. Banyak
macam pengelompokan nisbih dalam musik diatonik, seperti klasik, jazz, musik
hawaiian, dan kroncong. Yang dipilih Gesang adalah yang terakhir itu.
Ia masuk
kedalam perkumpulan yang mempersatukan kegiatan musik dan olahraga, khususnya
sepak bola. Bukan sebagai pemain alat musik, melainkan sebagai penyanyi
kroncong. Karena laras (tangga nada) pelog ada persesuaiannya dengan nada
diatonik yang dipergunakan dalam musik di Solo serta bahasa yang sama ke dalam
kroncong. Dari sinilah lahirnya lagu-lagu kroncong langgam Jawa, seperti rujak
uleg, putri Solo, suwe orang jejamu, dan lain-lainya. Nama perkumpulan yang
pertama itu adalah Marko (akronim dari kata-kata Marsudi Rukun Kesenian Olah
Raga).
Seperti
telah diceritakan sepintas di muka, pada zaman ini perkumpulan musik kroncong
tumbuh seperti jamur di Solo, ada yang merupakan orkes besar dengan musik
tiupnya dan banyak yang kecil-kecil biasa.
Gesang
berpindah-pindah mengikuti berbagai perkumpulam itu, karena berbagai-bagai
alasan. Sesudah Marko, ia ikut orkes Sinar Bulan, dalam tahun 1938, kemudian
perkumpulan Monte Carlo (1940) orkes Bunga Mawar dan yang terakhir, Irama
Sehat.
Ada
penyanyi kroncong yang terkenal diseluruh Indonesia pada zaman itu sampai saat
pecah Perang Pasifik, yaitu S.Abdullah, suaranya dijuluki “suara emas”.
Lagi-lagi yang dibawakannya banyak berisi senandung perasaan, keindahan yang
membawa khayalan kepada suasana tamasya yang jauh tak terlupakan oleh hampir
semua pencinta musik kroncong antara lain adalah, Kroncong Jangan Curang,
Kroncong Mata Setan, Nona Manis, dan lain-lainya.
Tatkala
penulis menanyakan kepada Gesang, siapa penyanyi yang menjafi favortitnya
sampai sekarang, maka dengan cepat dan pasti ia menyebutkan nama S.Abdullah.
Anehnya, meskipun nama S.Abdullah tersebut adalah Said Abdullah. Dengan
menyebutkan Es Abdullah tidak duanya sasarannya adalah penyanyi yang menjadi
sanjungan Gesang. Bahkan dalam usia 66 tahun, ia masih hafal lagu serta syair
yang pernah dikumandangkan oleh S.Abdullah pada masa remajanya.
Suaranya
yang memang bagus dan dapat membawakan pula lagu-lagu S.Abdullah pada usia yang
muda belia itu, menarik banyak penggemar, tua maupun muda.
Tentu saja
saat membina rumah tangga dan keluarga sudah tiba baginya. Ada anak gadis kota
BengawanSolo yang menaruh hati kepada Gesang dan orang tua penyanyi muda ini
sangat berkenan mempunyai menantu anak gadis tersebut. Gesang yang ditanyakan
persetujuannya, mufakat pula dengan pilihan ayahnya itu. Status sosial keluarga
anak tersebut jauh berbeda dengan keadaan keluarga Gesang.
Sebagaimana
layaknya, peminangan dilakukan dengan syarta dan adat istiadatnya. Pihak keluarga
si anak gadis mempertimbangkan masak-masak mengenai bibit-bebet-bobot sang pelamar. Rupanya hasil musyawarah antar
keluarga pihak mereka mempertanyakan, apa pekerjaan Gesang, berapa gajinya, apa
pangkatnya, siapa keturunanya, priayi atau bukan, dan lain-lain. Alhasil,
pinangan ditolak dengan hormat dan dengan alasan Gesang tidak masuk kriteria
mereka.
Gesang
menyadari keadaanya dan menerima kenyataan yang pahit itu dengan mengucapkan
alhamdullah, kalau takdir belum menghendakinya apa hendak dikata.
Pada bulan
September 1940, nampaknya roda dunia yang berputar terus, sedang
menggelindingkan nasib baik bagi Gesang. Pada saat itu, semua gejala itu, baik
bersifat psikologis, dalam suara biola dan suling, secara tegas melambangkan
watak dan budi pekerti Gesang yang lemah lembut dan boleh jadi rapuh. Tetapi,
pada tahun 1940 itu, setelah berkali-kali merenung dan menyimak ilham yang
disampaikan melalui sungai tersebut, terwujudlah melodi dan syair nyanyian
Bengawan Solo yang kokoh.
Nama lagu
ini dan kumandang nyanyiannya segera bertaburan ke segala penjuru pulau Jawa. Dengan
tidak dapat dihalangi oleh ketenaran lagu-lagu lain, Bengawan Solo meluap
menyebrangi Laut Jawa ke Kalimantan, Sulawesi, Sumatera dan lain-lain.
Dan pada
saat yang bersamaan, setelah diitolak lamarannya dengan seorang gadis kota
Bengawan solo tersebut, datanglah gadis yang mau menerimanya dengan apa adanya,
gadis tersebut bernama Waliah. Dan mereka pun menikah. Seusai menikah pada
tahun 1941, Gesang pun berhasil menyiptakan lagu yang tak kalah populer dengan
Bengawan Solo yaitu, “Sapu tangan” melodi dan syair lagu tersebut diciptakannya
sendiri. Dan dari lagu-lagu yang diciptakannya tersebut, terdengarlah sampai
benua Eropa dan Gesang pun mendapatkan banyak penghargaan dari ciptaanya
tersebut.
Ide cerita
dari buku ini cukup menarik , penulis mengajak pembaca seolah-olah larut dengan
kisah hidup Gesang pada masanya.
Kelebihan
buku ini adalah, kisah yang diceritakan pada buku ini cukup jelas dan sangat
rinci untuk menceritakan waktu dan tempat kejadian. Dan buku ini sangat
memberikan inspirasi kepada pembaca, karena untuk mendapatkan suatu ketenaran
itu membutuhkan proses yang panjang dan rumit. Pada buku ini terdapat
ketegangan emosional yang dapat membawa pembaca seolah-olah ikut merasakan
ketegangan yang diberikan penulis.
Kekurangan
buku ini adala, penggunaan bahasa yang kurang komunikatif dan agak sulit untuk
dipahami, karena buku ini sudah terlampau lama(1983/1984) sehingga kata-kata
pada saat itu sulit juga untuk dipahami. Kurangnya tanda baca, sehingga pembaca
sulit juga untuk memahami.
Buku ini
adalah buku yang bisa memberikan inspirasi kepada semua orang yang membacanya. Buku
ini adalah buku milik Depdikbud yang tidak diperjual belikan. Tujuan dari IDSN
sendiri dalam membuat proyek buku-buku seperti ini adalah untuk menimbulkan
perubahan yang membina serta meningkatkan mutu kehidupan yang bernilai tinggi
berdasarkan Pancasila, dan membina serta memperkuat rasa harga diri, kebanggaan
nasional dan kepribadian bangsa. Saran saya adalah, buku ini adalah buku lama
yang kata-katanya pada saat itu sulit untuk dipahami, sehingga, sebaiknya buku
ini di sunting lagi agar pembaca yang sekarang membacanya bisa lebih
memahaminya.