Rabu, 30 Desember 2015

Resensi Buku 2 (Buku Non Fiksi)

Judul                            : Gesang Martohartono
Pengarang                   : Firdaus Burhan
Penerbit                       : Departemen pendidikan dan kebudayaan
Tahun Terbit               : 1983/1984
Penyunting                  : 1. Drs. P. Wayong
                                         2. Drs. M. Soenjata Kartadarmadja
                                         3. Dra. Sutjiatiningsih
Desain sampul            : M. Soenjata
Jumlah halaman        : 111 halaman
Jumlah bab                 : 6 bab



            Proyek Investasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, telah berhasil menerbitkan beberapa jenis buku, salah satunya adalah buku biografi dan kesejarahan. Buku-buku ini diselesaikan berkat adanya kerjasama antara para penulis dengan tenaga-tenaga didalam proyek. Usahan penulisan buku-buku seperti ini dibuat guna membina nilai perjuangan bangsa, kebanggan serta kemanfaatan nasional.
Berawal dari proyek ini, IDSN membuat buku tentang biografi seseorang yang berpengaruh dalam bidang budaya dan sejarah. IDSN mencoba untuk mengambil kisah sesorang yang berpengaruh dalam bidang kesenian, yaitu Gesang Martohartono.
Gesang adalah pencipta lagu Bengawan Solo. Ciptaan-ciptaannya, semuanya merupakam komposisi vokal, yaitu nyanyian dalam bentuk kroncong langgam. Jumlah karangan lagunya, sampai saat ini berjumlah sekitar sebelas atau duabelas lagu saja. Dan yang menjadi sangat populer adalah lagu Bengawan Solo, Jembatan Merah, dan Saputangan.
Ia tidak membuat lagu-lagu perjuangan seperti komponis Corrnel Simanjuntak, Ismail Marzuki, Ibu Sud dan lain-lain. Ia tidak membuat lagu-lagu pujian terhadap tanah air atau ikrar terhadap negeri tumpah darahnya, sebagaimana yang diperbuat antara lain oleh komponis Kusbini. Namun, ia memperoleh nama tenar karena lagunya yang sederhana saja, yakni Bengawan Solo. Ketenaran itu nampaknya bukan saja terbatas dalam wilayah tanah air Indonesia, melainkan sampai pula ke negeri-negeri lain, terutama Jepang.
Gesang sendiri tidak bisa membaca not-balok, dan tidak pandai dalam memainkan sesuatu alat musik utama dalam orkestra, biola, piano, flute, kecuali memainkan suling bambu yang dilaras dengan tangga nada diatonik.
Walaupun tidak dapat memainkan salah satu alat musik orkestra, namun itu tidak menghalangi nasib baik yang menghampiri Gesang. Ia mencintai seni karawitan, musik tradisional tempat kelahirannya, Surakarta. Karena bidang pilihnnya itu meliputi permusikan sistem diatonik, maka penilaian musikal terhadap Gesang, sampai batas tertentu dituntut oleh persyaratan cipta-menyipta bidang permusikan dunia yang mempergunakan sistem tersebut. Disinah letak penghargaan kepada Gesang sebagai seorang komponis. Ia bukan saja menciptakan Bengawan Solo, tetapi sekaligus konflid antara dua buah kenyataan yang sama-sama kuatnya, tetapi tidak saling menunjang, dalam menilai kadar kompositoris pada karya-karya musiknya.
Pada tahun 1979, tiga juta masyarakat Jepang melihat pertunjukan Gesang pada acara “suara karya” ditelevisi. Semuanya tanggap rasa terhadap lagu Bengawan Solo yang dinyanyikan Gesang. Tidak dapat dipungkiri bahwa rasa haru mereka mendengarkan lagu tersebut. Bukan semata-mata rangsangan keindahan melodi dari lagunya saja, tetapi dalam lubuk kenangan mereka tergugah berbagai macam asosiasi dalam kehidupan mereka.
Itulah yang disampaikan Gesang kepada Penulis pada tahun 1983, sewaktu itu Gesang berumur 66 tahun, dan dengan senang hati menceritakan kisahnya kepada penulis.
Gesang  selanjutnya menceritakan kisah selanjutnya, ia menciptakan nyanyian vokal bengawan solo pada bulan september 1940, ketika ia berusia 23 tahun. Ia menyatakan sendiri bahwa lagu ini adalah kelompok lagu yang pada masa itu dinamakan langgam keroncong. Bengawan Solo disusun dalam 32 birama. Gesang tidak menetapkan nada dasar khusus lagu tersebut, yang berarti dapat dinyanyikan sesuai dengan kemampuan tentang suara setiap penyanyi, dan menurut pilihan suasana yang dirasakan cocok dengan penggunaan tangga nada tertentu. Secara tidak tertulis, Gesang menyadari bahwa hal tersebut selaras dengan falsafah masyarakat Jawa.
Ada  beberapa birama atau beberapa bagian lagu Bengawan Solo yang mengalami perobahan dari melodi asli tatkala Gesang menyanyikannya pertama kali pada tahun 1940. Gesang sendiri mempertahankan yang menjadi kelaziman dinyanyikan itu sebagai melodi yang semestinya. Hal itu dapat pula terjadi tatkala pencatat melodi yang dinyanyikan pertama kali oleh Gesang, ia tidak memandang perlu untuk secara kritis menotasikan ciptaan tersebut dengan setepat-tepatnya, karena sebagaimana telah dikatakan semula kebebasan yang terbatas adalah ciri musik Indonesia, dimana hal itu banyak manfaatnya yang positif.
Selain menyiptakan melodinya. Gesang juga mengarang syair lagu Bengawan Solo itu sendiri. Meskipun hanya merupakan beberapa kalimat yang nampaknya sederhana saja, namun ia mampu membangunkan citra keluhuran sejarah yang amat luas.
Disekitar tahun 1930 di kota Surakarta sudah banyak bermunculan orkes-orkes kroncong kecil-kecilan, di samping yang besar. Menurut ukuran setempat pada masa itu, orkes yang disebut orkes kroncong harus memenuhi syarat baku, ialah selain memiliki biola, suling, gitar, string-bas, jukelele, dilengkapi pula dengan alat-alat tiup. Orkes-orkes yang disebut kecil, adalah yang tidak mempergunakan alat-alat tiup tersebut.
Nama-nama orkestra kroncong pada zaman itu, antara lain, adalah Monte Carlo, Sinar Bulan, yang kemudian pecah dua sehingga lahir pula orkes bernama Sinar Muda, dan selanjutnya ialah orkes Bunga Mawar.
Sesorang yang kemudian menjadi sesepuh salah satu dari perkumulan kroncong Bunga Mawar, adalah Mamiek Martosudiro. Menurut kenang-kenangan Martosudiro, Gesang pada masa mudanya memiliki gaya dan warna suara yang khas.  Penyanyi-penyanyi terkenal pada masa itu, antara lain, Kamto, S. Dimin, Samsidi, Ismanto, Suparto, Waluyo, dan Gesang. Suparto dan Wahuhyo mengikuti gaya Samsidi, tetapi Gesang memiliki ciri tersendiri.
Meskipun usianya dengan Mamiek dan beberapa seniman kroncong seperkumpulannya, perbedaan usianya seperti kakak dengan adik, mereka memanggil Gesang dengan panggilan penghargaan “Embah Gesang”, karena pribadinya yang kaya senyum dan banyak diam. Dia tidak mengelakkan senda gurau tersebut, tetapi keterlibatannya kedalam guyonan anak muda itu, hanyalah menyertakan senyum saja. Dia diajak menyanyi untuk keperluan membantu orang lain, untuk keperluan membantu orang lain, untuk keperluan hajatan, senantiasa dikabulkannya tanpa pamrih. Kalau peribahasa mengatakan, ia adalah orang yang cepat kaki ringan tangan dalam beramal kepada orang lain.
            Bila kini manusia dimana-mana mendengar dua kata Bengawan Solo, maka pertama-tama asosiasi fikirannya bukanlah sebuah sungai, tetap nada-nada melodi yang semula diberi predikat langgam kroncong.
            Di Solo pula pertama-tama musik kroncong memperkenalkan gaya baru dalam tabuhan yang bertingkatan, atau kendangan mempergunakan cello yang dipetik, bukan digesek. Hasil dari kendangan tersebut, menghidupkan warna musiknya menjadi lebih segar. Pemikirannya tidak jauh dari gaya musik karawitan, atau musik gamelan, maupun permainan kotekan tradisional pada lesung.
            Tatkala seorang wartawati dari televisi yang kebetulan datang pula untuk mewawancarai Gesang dan membuat film tentang Gesang, ia bertanya mengapa kroncong pada masa lampau itu kedengarannya lebih mempesona dari yang sekarang, meski yang sekarang ini lebih modern alat-alat musiknya, pakai dirigen, dan amplifier segala.
            Gesang hanya tersenyum dan berkata sederhana, bahwa kemungkinan karena belum modern itu, dan kroncong masih merupakan kroncong. Jawaban ini sangat besar artinya dalam mengungkapkan hakekat kesenian kroncong yang sesungguhnya. Ia adalah seumpama Bengawan Solo itu sendiri, pada awal alirannya yang jernih dan beriak-riak keci di sela batu li lembah-lembah Gunung Seribu.
            Keluarga Gesang tinggal di Kampung Singosaren dalam kota Surakarta, pada hari Rebo Pon, tanggal 1 Oktober 1917, keluarga pak Martodiharjo dikaruniai anak yang ke lima. Oleh sang ayah bayi itu diberi nama Sutadi. Tidak ada gelar raden atau sesuatu panggilan kehormatan lain yang menyertai nama anak itu, karena pak Martodiharjo bukanlah kalangan bangsawan. Ia seorang pengusaha kecil yang menghidupi seluruh keluarganya dari penghasilan membuat kain batik secara kecil-kecilan.
            Dalam keadaan perekonomian penduduk pribumi bangsa Indonesia yang berat dalam masa Perang Dunia pertama itu, pak Martodiharjo masih pula harus memikul tanggungjawab terhadap empat orang anaknya, sebelum Sutadi. Mereka adalah, Resodiharjo, anak perempuan, yang hingga sekarang(1983) masih hidup dan berdiam di Kampung Notodiningratan. Jumirah anak perempuan juga, tetapi sudah meninggal. Jawatir, anak lelaki, sudah meninggal. Yasid yang kini(1983) juga sudah meninggal, dan semasa hidupnya dahulu pernah terkenal pula di Solo, sebagai pemain kiri luar dari perkumpulan sepak bola Persis Solo.
            Namun pak Martodiharjo tidak mau menyerah kepada kesulitan dan membiarkan keluarganya terhambat oleh rintangan-rintangan. Ia berusaha sekuat tenaga menurut kadar kemampuannya, dan ingin mengatasi segala kesulitan masalah rumah tangga yang kadang-kadang disebabkan oleh perekonomianya yang menyesakkan nafas itu, secara tenang dan tidak diketahui anak-anaknya. Baginya berlaku pedoman lama, “makan atau tidak makan, asal berkumpul”. Meskipun kemakmuran materil itu penting untuk menunjang penghidupan, tetapi kerukunannya dan kebersamaan dalam satu keluarga dirasakannya lebih penting lagi. Terlebih lagi, isteri yang dicintainya telah meninggal tatkala anaknya yang nomor lima baru berusia empat tahun. Sebelum meninggal, almarhumah menderita sakit-sakitan setelah anaknya yang bungsu ini lahir, sehingga anak itu banyak diasuh oleh pembantu rumah tangga mereka, yang dipanggil dengan sebutan “Mbok Bon”. Jangan pula diukur kehadiran seorang pembantu rumah tangga dalam keluarga pak Martodiharjo itu sebagai gejala orang yang terlalu mampu. Menurut kebiasaan dikota-kota besar. Dimana hubungan antara pembantu dengan orang rumah adalah hubungan buruh dengan juragan.
            Keadaan penghidupan dan sosial ekonomis yang mendesaklah yang membuat seakan-akan rumah tangga bangsa pribumi seringkali pula menampung sanak keluarga agar tidak terlantar, meskipun bangsa Eropa menamakannya kebiasaan parasit. Kodrat dan pengaruh dari rasa kebersamaan, kegotong royongan yang bersifat kosmis itu meresap pula sampai-sampai kepada alam fikiran masyarakat Jawa, seni sastranya, puisi dan karawitannya. Dan inilah yang membuat sikap mereka tidak menyukai perpecahan yang azasi.
            “Banyak anak, banyak rezeki”, bukan saja menjadi ucapan orang Indonesia, tetapi bangsa Eropa pun mempercayainya pula, terbukti dari ucapan dalam bahasa mereka, “Hoe meerzielen hoe meer vreugd”, atau “the morfe the merrier”, meskipun masyarakat kita percaya bahwa yang banyak itu adalah rezeki.
            Pak Martodiharjo belum menemui pada zamannya itu suatu kampanye mengenai keluarga berencana dalam pemerintahan kolonial atas kepulauan Indonesia yang berpenduduk enampuluh juta jiwa. Perkawinannya dengan isterinya dulu wanita sederhana yang berasal dari Pedan itu, adalah dengan menjunjung tinggi segala azas tujuan menegakkan rumah tangga sambil mengindahkan segala yang hak dan haram menurut agama, dengan memperhatikan naluri bibit-bebet-bobot warisan leluhur. Anak yang dilahirkan adalah karunia Tuhan, titipanNYA, maka harus dijaga dan dididik baik-baik.
            Suami isteri itu menyayangi kelima orang anaknya tanpa pilih kasih, dan keadaan mereka memang cukup rukun dan bahagia. Bukan pula berarti bahwa hidup yang dilaluinya selalu mulus tanpa onak dan durinya. Tetapi, meskipun pak Martodiharjo tidak mengenal ilmu pendidikan dan ilmu jiwa, namun falsafah hidup yang diterimanya dari leluhurnya, menahan suami isteri itu untuk bertengkar didekat anak-anaknya. Dalam keadaan maraha, pak Martodiharjo hanyalah diam saja, meskipun air mukanya tidak memperlihatkan perubahan yang terlalu nyata. Hal ini merupakan unsur pendidikan kepada anak-anaknya agar tidak menghamburkan nafsu sehingga mengorbankan adab dan kepribadian, karena tidak dapat mengekang emosi. Amanat leluhur mereka, kalau dalam suatu pertengkaran pihak yang pertama-tama menutup mulut, itulah pertanda orang yang berbudi luhur.
            Isteri pak Martodiharjo kesehatanya makin menurun setelah melahirkan anak terakhir. Ditambah lagi sibayi menderita penyakit yang cukup berat. Berbagai usaha pengobatan tradisional telah dilakukan, tetapi suami isteri itu hanya dapat berlinang air mata, karena sang anak tidak menampakan gejala membaik dari sakitnya. Menurut kepercayaan mistik, kemungkinan nama yang disandang sang anak tidak cocok kepadanya, hendaklah diganti dengan nama lain. Begitu besar harapan dan hasrat sang ayah dan ibu beserta seluruh keluarga, agar si kecil itu dikarunai Allah kelangsungan hidup. Maka bersepakatlah mereka untuk memberikan nama lain kepada si kecil. Kalau anak tersebut sembuh kelak akan diadakan selamatan bubur merah putihmengganti doa serta harapan mereka kepada si jantung hati, yakni Gesang, yang artinya hidup.
            Hidup bukan hanya sekedar hidup untuk bernafas, makan dan minum, tetapi hidup dalam arti kata hidup yang bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. Inilah hasrat yang menyertai upacara tradisional sederhana mengganti nama Sutadi dengan Gesang.
            Keajaiban itu pun diturunkan Tuhan kepada keluarga yang beriman itu, anak kecil itu sembuh, berangsur kuat kembali dan akhirnya sehat walafiat. Peristiwa inilah yang merupakan suatu pengalaman yang paling indah dalam keluarga Martodiharjo yang tidak kaya dalam materi, tetapi kaya dengan rasa bersyukur kepada Allah.
            Gesang tumbuh sebagai kanak-kanak yang normal, tetapi karena ibunya yang sakit-sakitan, ia banyak diasuh oleh Mbok Bon. Seperti diceritakan dimuka. Tetapi pada usia balita, masih sangat rindu akan kasih sayang ibu. Tetapi takdir telah menentukan lain, karena ibunya meninggal dunia. Masih terlalu muda sang ibu pergi untuk selama-lamanya. Gesang sebagai kanak-kanak yang baru berusia empat tahun, pada saat peristiwa itu belum merasakan betul kemalangan yang menimpa keluarga mereka. Tetapi ayahnya, pak Martodiharji, bumi tempat berpijak seakan amblas dibawah telapak kakinya, dan seluruh pojok rumah tiba-tiba kosong dan gersang. Tiada lagi orang yang disayanginya, pendamping akrabnya dalam suka dan duka menempuh liku-liku penghidupan. Teringat semua kepadanya suara khas yang hanya dia sendirilah yang mendambakannya, suara sang isteri, tatkala mereka bersuka, dan pada saat-saat yang tegang. Kini, ingin didengarnya kembali, bahkan suara sang isteri tatkala tatkala agak marah, ingin diresapkannya walau agak sejenak saja, namun semua itu tidak akan terulang lagi. Semakin hari semakin jauh perpisahan itu terjadi, walau dalam kenangan tak hendak dilepaskan oleh ayah yang malang itu.
            Tak dapat ia memicingkan mata, samapi kelelahan yang amat sangat melenakannya dalam tidur yang gelisah. Ditenga malam yang larut ia terbangun dan berlinang air mata, membuka jendela, yang biasa dibuka oleh tangan almarhumah isterinya selagi masih hidup. Timbul berbagai penyesalan dalam hatinya, terkenang akan perbuatan-perbuatan kecilnya yang menjadikan sang isteri bersedih atau kecewa. Kini ia ingin menebusnya walau dengan paroham nyawanya sendiri, namun semuanya sudah berlalu dan tak akan kembali lagi. Bintang-bintang yang berkelap-kelip dilangit ditatapnya seakan wajah isterinya yang tersenyum sayu membujuknya.
            Anak-anak dibawa ayahnya berziarah ke makam almarhumah ibu mereka. Mereka sudah cukup besar, terutama anak-anak perempuan, tidak kuasa membendung tangannya sambil menggumaman kata-kata yang memilukan hati. Mereja kehilangan sesuatu yang melibihi segala nilai dan kekayaan harga dunia, yakni ibu yang tak mungkin dapat diganti dengan siapapun. Tanah yang masih merah itu seakan duka pada perasaan mereka yang terluka. Kini, si kecil anak yang paling bungsu itu, mulai memperlihatkan gejala yang aneh-aneh seakan bathinnya berkata dan berbisik mengenai kemalangan yang tiada tara dialami bocah itu, meskiun mulutnya hanya sekali-sekali menjerit “..ibu-ibu”, kemudian menangis tiada bersebab. Mbok Bon yang setia itulah yang menggendongnya pergi sambil mengalihkan perhatiannya kepada apa saja yang disangkanya dapat menghibur si bocah.
            Tanah dibawah lindungan pohon bungan kamboja itu berangsur menua warnanya dan tinggalah pohon bungan kamboja itu berangsur-angsur menua warnanya dan tinggalah sebuah batu nisan yang menandai peristirahatan yang terakhir bagi almarhumah.
            Setiap kali berziarah, pak Martodiharjo menyadari bahwa hidup didunia itu hanyalah sebentar, dan tidak ada sesuatu apapun yang kekal dalam alam yang fana ini. dia sendiripun semakin hari semakin parak juga kepada alam baka, dimana isterinya telah mendahului berangkat kesana. Manusia mati harus meninggalkan amal yang baik dan nama yang baik. Dunia dijinjing, akhirat dijunjung. Kematian isterinya mau tak mau berpengaruh besar terhadap semangatnya untuk mencari nafkah. Keadaan perdagangan kain batik dan perekonomian pengusaha kecil tambah terjepit oleh pengusaha-pengusaha besar yang bermodal kuat Pak Martodiharjo yang  sudah kehilangan tangan kananya itu, merasakan pula pukulan keadaan. Tetapi anak-anaknya dan kenangan kepada isterinya menghalau rasa putus asa dan kelemahan. Ia meneruskan usahanya dengan bantuan anak-anaknya. Berbahagialah orang-orang yang sempat bersua dengan ibu mereka sampai saatnya ibu dapat menimang-nimang cucunya. Tetapi berbeda dengan takdir pada keluarga Pak Martodiharjo.
            Untuk menghibur hatinya, Pak Martodiharjo selesai bekerja mengurus usaha batiknya, dalam waktu-waktu yang senggang pada malam hari, menyibukan diri dengan tembang Jawa dan pada kesempatan terntentu berkumpul dengan masyarakat di kampungnya mengadakan salawatan.
            Lingkungan hidup keluarganya adalah lingkungan orang-orang baik. Mereka sangat menjaga nama dan tingkah laku mereka yang sesuai dengan harkat dan martabat orang-orang yang menjadi kepercayaan dalam lingkupan istana.
            Tembang Jawa yang merupakan bagian dari karawitan Jawa, merupakan jalan untuk pendidikan yang mengaluskan budi pekerti manusia. Kebudayaan rohaniah dan adab dapat mengahaluskan pendengaran, karena pancaindera yang halus pula. Pancaindera manusia yang paling tinggi harkatnya adalah penglihatan dan pendengaran.  Penglihatan memberian pengaruhnya kepada fikiran dan akal, sedangkan pendengaran meresap dan berpengaruh terhadap perasaan dan akhlak. Sebagaimana lapisan terbesar anak-anak Jawa pada zaman Pak Martodiharjo menerima pendidikan dari lingkungan alam sendiri, karena dalam tindak tanduk mereka tidak ketinggalan menyanyikan tembang karawitannya.
            Gesang yang sudah mencapai usia sekolah, beserta saudara-saudarnya, senantuasa terdidik pendengarannya dengan tembang yang dikumandangkan oleh sang ayah. Namun pak Martodiharjo, merasa bahwa kesenian itu hanyalah merupakan alat saja guna  memperhalus budi pekerti, sedangkan yang sungguh-sungguh mampu mengendalikan nafsu serakah dan sifat-sifat yang hanya mementingkan diri sendiri dalam diri manusia, hanyalah agama. Karena itulah anak-anaknya diasuh bersembahyang lima waktu dan mengaji kitab suci Al Quran.
Martodiharjo adalah orang yang terkenal dengan ramah tamah dan tidak pernah berselisih dengan para tetangga. Meskipun dalam mendidik anak-anaknya ia tidak selamanya memberikan kemanjaan, tetapi sekali-sekali mengencangkan kembali disiplin yang agak keras terhadap mereka. Tapi, sebagaimana kata Gesang sendiri, mereka sangat cinta kepada ayahnya itu.
Pusat pendidikan yang pertama adalah keluarga dan rumah tangga dan yang kedua adalah rumah sekolah atau perguruan, yang ketiga yaitu pergaulan dan perkumpulan sesama remaja. Akan tetapi bagi Gesang sudah tidak lagi mengenyam pendidikan yang sejati dan tulus ikhlas dari ibunya. Sebagai anak piatu, ia menerima kasih sayang dari anggota keluarga bahkan sedikit dimanjakan ayah serta kakak-kakanya dan sanak famili yang lainnya. Anak-anak sebaya Gesang harus bersekolah untuk bekal hidupnya apabia berdiri sendiri kelak dalam masyarakat. Mengaji dan bersembahyang tidak ditinggalkan, dan ilmu duniawi kini sudah tibalah pula saatnya untuk dikuasai.
Meskipun keadaan penghidupan bertambah  berat, dan biaya sekolah cukup mahal bagi anak-anak pribumi, namun pak Martodiharjo telah memilih sekolah bagi Gesang, yaitu sekolah dasar Muhammadiyah. Nama perguruan tersebut ialah Standard school Muhammadiyah, letaknya adalah dikampung Punggawan, di depan Museum Pers sekarang(1983).
Sebagaimana dimaklumi, tokoh pendiri Muhammadiyah Kyai Haji Akhmad Dahlan, adalah orang yang bertutur kata lemah lembut, berhati ikhlas dan penyabar. Ia memiliki pengetahuan yang luas dan pandangannya mengenai agama tidaklah sempit dan kolot. Tokoh Muhammadiyah yang mempunyai pengaruh besar itu, mengatakan keliru bahwa orang islam itu hanyalah bersembahyang dan beribadat saja, dan melupakan kehidupan duniawinya. Tohoh itu memiliki cara pendekatan kepada agama bersdasarkna akal, dan ilmu pengetahuan. Tahun 1923 Gesang mulai bersekolah. Bersama kawan-kawannya yang sebaya dari kampung Singosaren setiap hari ia berangkat menuju kampung Punggawan tempat Standard school Muhammadiyah ia berjalan kaki pergi dan pulang dari sekolah. Lama perjalanan kira-klra 15 menit. Tetapi seringkali benra tatkala berangkat ke sekolah Gesang hanya sendirian, karena berbagai macam sebab dan kesempatan.
Ia tidak memakai sepatu atau sandal, melainkan dengan kaki telanjang saja ke sekolah. Pakaian yang dikenakannya adalah jas tutup dari bahan drill dengan kancing-kancing besar dan sarung batik. Tetapi karenaa keadaan, Gesang hanya memiliki satu dua setelan pakaian saja. Maka ia harus hemat dan hati-hati, agar tidak lekas kotor dan lekas robek. Maklumalah, pada zaman itu sangat terkenal taraf penghidupan pribumi yang sangat sederhana, sehingga ada yang mencela pemerintah Belanda, bahwa penduduk bumiputera hidup dari uang sebenggol atau dua setengah sen sehari. Sampai-sampai penelitian medis dikalangan keluarga bangsawan kraton pun, ditemukan kenyataan bahwa putera-putera pangeran juga mengalami keadaan “onderwood”, yaitu kurang gizi. Kalau putera-putera bangsawan yang keadaan keuangannya lebih baik dari orang-orang yang berada dibawah tingkatan itu masih juga menderita kurang gizi dalam zaman kolonial, apalagi anak-anak priayi yang menjadi teman-teman sekampung dan sepergaulan Gesang.
Ia bersekolah dari jam setangan delapan pagi hingga jam satu siang. Lazimnya sebagaimana anak-anak sekolah dasar yang kadang-kadang sambil berlari dan bersendau gurau pulang dari sekolah.
Sesampainya dirumah, pakaian sekolah dibuka dan diangin-anginkan agar dapat dipakai kembali keeskokan harinya. Ia mengganti pakaian dengan pakaian rumah. Tetapi sebelum itu, begitu ia sampai di ambang pintu, pertama-tama dilakukannya adalah berteriak minta makan kepada si Mbok Bon. Ayahnya yang biasanya sudah berada dirumah hanya dengan senyum dalam hati memperlihatkan kenakalan yang wajar dari anaknya itu.
Gesang makan mempergunakan sebuah sendok saja tanpa garpu, pagi-pagi sebelum pergi sekolah, ia mendapatkan sarapan berupa sepiring nasi dengan lauk pauknya. Seusai makan ia mencari bapaknya dan meminta uang jajan untuk di sekolah. Biasanya dari sang ayah yang menaruh rasa iba yang khusus kepada putera bungsunya ini, diberikan uang yang cukup banyak untuk ukuran orangtua, Gesang, yakni dua sen. Tetapi dengan uang dua sen pada zaman itu, jangkauannya cukup lumayan. Gesang membeli jajanan berupa minuman cao, seharga setengah sen, dan yang selebihnya ia memperoleh belangreng (kaspe goreng), bakmi bungkus ketan dan kacang goreng.
Gesang tidak setiap hari ia menerima uang jajan sebanyak dua sen itu. Kadang-kadang kurang dari itu bahkan kadang-kadang tidak mendapatkan uang jajan sama sekali.
            Kalau tidak mempunya uang saku bagaimana, tanya penulis kepada Gesang. Kalau tidak mempunya uang, ya, diam saja, jawab Gesang. Inilah ajaran dari orang tuanyya, agar jangan selalu tangan itu berada diatas. Maksud dari fatwa ini adalah agar anak-anaknya jangan hanya meminta dan mengharapkan pemberian orang lain saja, tetapi wajib pula mempunyai harga diri, dengan cara memberi kepada orang lain. Tangan yang diatas iu lebih baik dari pada tangan yang dibawah.
Sebaliknya begitu pulalah keadaan dengan keadaan kawan-kawannya, apabila mereka sedang tidak mempunyai uang jajan, merekapun pergi menjauh dari tempat orang-orang berjualan, agar tidak menerbitkan selera dan tidak ditawari jajan oleh kawan-kawan lain.
Selesai makan suang setelah pulang sekolah, Gesang pergi ke tempat teman-temannya untuk bermain. Ada beberapa nama yang masih diingat dalam kenangannya, yaitu Sayono, Wiyono, Wiyadi, Jimin dan Jombo.
Tetapi yang masih hidup sampai saat ini(1983) adalah Sayono, anak Puspopradonggo abdi dalem kraton Kasunanan, yang menurut keterangan saat itu bekerja pada sebuah hotel di Solo.
Jenis-jenis permainan pada masa itu yang digemari anak-anak adalah aduk kecik(biji sawo kecik), permainan mote, yaitu bahan untuk main oncang, main jirak dan “O-O”, main kekeran atau kelereng, main layang-layang dan gansing.
Sesudah bermain biasanya ia pergi mandi dan pergi tidur. Untunglah penerangan listrik sudah ada dirumah mereka, sehingga untuk belajar malam dan mengerjakan pekerjaan rumah dapat dilakukannya dari jam delapan selesai sembahyang Isa. Dia masih ingat dirumahnya ada jam besar dengan angka-angka romawi dan bunyi loncengnya yang belum seindah lonceng-lonceng zaman sekarang(1983).
Adapun makan malam keluarga itu selalu dilakukan setelah selesai saat maghrib. Kalau ada diantara seperadik Gesang yang makan pada saat berebut senja, lalu ayahnya menasehatkan. Gesang hanya sempat menikmati bangku sekolah pada saat itu sampai kelas lima saja. Gesang tidak dapat menyesali keadaan, semua sudah ada skenarionya, dan manusia harus berikhtiar sekuat mungkin, kalau usaha sudah habis dijalankan, kita tidak dapat berbuat lain kecuali menghadapi kenyataan dengan tenang dan tetap bersyukur kepada tuhan Yang Maha Esa.
Ketika Gesang duduk dikelas V, ia mengalami sakit keras hingga tiga bulan. Tidak pula berobat kepada dokter melainkan memakai obat-obat tradisional saja. Akibatnya ia terpaksa diturunkan kelas dari kelas V ke kelas IV kembali. Karena pertimbangan daya kemampuannya yang sudah dianggap akan merugikan dirinya sendiri, kelak kalau akan diteruskan juga dikelas V padahal selama tiga bulan ia tidak dapat mengikuti pelajaran penting.
Orang yang paling akrab dan paling menyenangkan baginya adalah ayahnya sendiri, meskipun si bapak ada kalanya keras sikanya. Gesang mengatakan bahwa justru ia merasa hormat, sayang dan suka menurut kata ayahnya.
Diantara guru-guru disekolah yang disenanginya adalah mas guru bernama Joyosukarto, guru kelas lima atau kelas penghabisan pada perguruan Muhammadiyah tempatnya bersekoah itu. Pada hakekatnya semua guru sekolahnya itu sama menyenangkan baginya. Mereka terdiri dari pria semua dan masih muda-muda. Murid-murid memanggil para guru itu dengan panggilan mas guru.
Pelajaran yang paling menarik baginya adalah tembang Jawa dan menggambar. Ia lemah dalam pelajaran berhitung dan tulisan juga cuma dapat angka lima, paling tinggi enam.
Gesang tidak pernah berkelahi dengan teman-teman di sekolahnya. Selain dari wataknya yang penyabar dan suka mengalah, juga karena hati kecilnya menyuruh ia menjaga kebaikan tingkah laku sebagai anak yang kurang mampu. Hanya dengan saudara-saudaranya kadang-kadang suka berkelakar menyembunyikan layang-layangnya, umpamanya, ia pernah sekali-sekali bertengkar.
Selama masa kanak-kanaknya Gesang pernah satu kali berpergian agak jauh dari kotanya, yaitu ketika berdamawisata bersama kawan-kawan sekolahnya ke Wonogiri dan Prambanan. Gesang masih ingat mas guru yang memimpin perjalanan tersebut ialah Djoyosuharto. Selama perjalanan yang menggembirakan itu, tentunya masing-masing tertarik kepada obyek yang berbeda-beda. Bagi Gesang, alam yang indah sepanjang jalan adalah sungai yang mencurahkan airnya ke Bengawan Solo tatkala ke Wonogiri. Juga para petani yang sibuk mengerjakan sawah, anak gembala yang menggiring ternak bebeknya yang ratusan jumlahnya Candi Prambanan yang merupakan catatan masa lampau itu, meninggalkan pengaruh yang tak terlukiskan dengan kata-kata dalam hatinya. Dia menyaksikan pemandangan baru, kehidupan nyata yang lebih luas dari apa yang pernah diserap oleh kehidupan nyata, dan yang lebih luas dari apa yang pernah diserap oleh pancaindera dan ditangap oleh hati nuraninya adalah ia melihat anak yang sudah piatu, yang mengingatkan dia kepada nasibnya sendiri.
Dia mendengarkan pula di desa Prambanan merdunya suara suling yang melagukan lagu-lagu karawitan yang sangat disenanginya. Senandung itu dalam pendengaran batinya agaknya telah diserapkan sejak dahulu, tatkala ibunya menggendongnya sebelum tidur. Aneh dan sangat halus pesona suling itu. Seperti terlelapkan ia kedalam khayalan yang indah, terngiang-ngiang sampai nada-nada penghabisan meski matanya sudah terpejam.
Pada zaman Gesang berseklah, sampai tahun 1929, di solo belum terdapat pesawat radio. Orang-orang tertentu yang mampu, memiliki gramafon yang mempergunakan piringan hitam. Alat ini sendiri merupakan benda yang aneh bagi anak-anak sebaya Gesang. Lagu-lagu yang diperdengarkannya lebih-lebih lagi mengherankan dan menyenangkan. Karena itulah hampir merupakan acara khusus baginya untuk pergi pada saat-saat tertentu ke depan toko yang menjual gramafon. Untuk menarik selera masyarakat itu, penjualnya memutarkan adegan-adegan wayang orang serta gending-gending yang populer di Solo.
Gesang sendiri belum berminat kepada musik kroncong. Karena baru sekitar tahun 1930 lahir perkumpulan-perkumpulan kroncong di Solo, seperti Marko (Marsudi Rukun Kesenian Olahraga), Monte Carlo, Bunga Mawar, Irama Sehat dan lain-lain perkumpulan-perkumpulan kecil yang cepat berkembang.
Saat meninggalkan bangku sekolah untuk selama-lamanya, merupakan kenangan yang mengharukan pula bagi Gesang. Selama kurang lebih enam tahun ia memperoleh pendidikan dari perguruannya, “Standard School Muhammadiyah” di kampung Punggawan tersebut. Enam tahun memang waktu yang berlenihan, karena sebagaimana diceritakan di muka, Gesang pernah menderita sakit yang lama dan terpaksa turun kelas. Dia sendiri mengatakan bahwa kemampuannya tidak sekuat anak-anak yang lain, teman-temannya yang beruntung dapat melanjutkan pelajaran pada sekolah yang lebih tinggi dan sampai berhasil menduduki jabatan-jabatan terhormat sebagai priayi.
Mulai dari bocah cilik yang buta huruf, guru-guru telah melakukan tugas kewajibannya dengan tekun sampai Gesang dan teman-temannya dapat membaca dan menulis, berhitung. Pendek kata segala jenis bekal ilmu bagi dunia dan akhirat yang amat berguna bagi mereka setelah dewasa kelak, diberikan kepada mereka. Kawan-kawan seiring sepergaulan selama ini, yang pasti berjumpa hampir setiap kali di sekolah, dalam perjalanan pulang pergi, kini akan saling berpisah. Dia tidak akan mendengarkan lagi suara lonceng berbunyi menandakan kelas dimulai, saat berisitirahat dan membelanjakan uang dua sen yang membuat dirinya merasa bahagia, dan menandakan saat pulang ke rumah masing-masing. Gurunya, mas Sadat Joyosukarto, berlinang air mata ketika mengucapkan kata perpisahan yang singkat tetapi mengesankan. Anak-anak pun tidak dapat menahan rasa harunya. Alangkah besarnya nilai pergaulan yang penuh kenangan dan cita-cita yang luhur ini. Jika suatu ketika ia melewati berkas sekolahnya tentu akan mendengarkan murid-murid menyanyikan tembang Jawa yang selama bertahun-tahun yang lalu pernah pula mendidik perasaan dan wataknya. Alangkah banyaknya pertemuan dan peristiwa perpisahan semasa hidup yang menyentuh rasa haru kita pada lubuk hati sedalam-dalamnya, tutur Gesang.
Dalam usia 18 tahun, Gesang mulai belajar bernyanyi. Bukan memasuki kursus musik atau semacamnya, karena pendidikan demikian belum ada di Solo pada tahun 1935 itu. Gesang belajar menyanyi dengan cara mendengarkan orang menyanyi serta memperhatikan semua gerak-geriknya. Diperhatikannya pula penyanyi yang memiliki warna suara yang menyenangkan. Dihafalkannya pula syair dari lagu-lagu yang memikat hatinya. Nyanyian serta musik bernada diatonik, yang nada-nada pokonya hampir sejalan dengan laras pelog tujuh nada dalam musik karawitan. Banyak macam pengelompokan nisbih dalam musik diatonik, seperti klasik, jazz, musik hawaiian, dan kroncong. Yang dipilih Gesang adalah yang terakhir itu.
Ia masuk kedalam perkumpulan yang mempersatukan kegiatan musik dan olahraga, khususnya sepak bola. Bukan sebagai pemain alat musik, melainkan sebagai penyanyi kroncong. Karena laras (tangga nada) pelog ada persesuaiannya dengan nada diatonik yang dipergunakan dalam musik di Solo serta bahasa yang sama ke dalam kroncong. Dari sinilah lahirnya lagu-lagu kroncong langgam Jawa, seperti rujak uleg, putri Solo, suwe orang jejamu, dan lain-lainya. Nama perkumpulan yang pertama itu adalah Marko (akronim dari kata-kata Marsudi Rukun Kesenian Olah Raga).
Seperti telah diceritakan sepintas di muka, pada zaman ini perkumpulan musik kroncong tumbuh seperti jamur di Solo, ada yang merupakan orkes besar dengan musik tiupnya dan banyak yang kecil-kecil biasa.
Gesang berpindah-pindah mengikuti berbagai perkumpulam itu, karena berbagai-bagai alasan. Sesudah Marko, ia ikut orkes Sinar Bulan, dalam tahun 1938, kemudian perkumpulan Monte Carlo (1940) orkes Bunga Mawar dan yang terakhir, Irama Sehat.
Ada penyanyi kroncong yang terkenal diseluruh Indonesia pada zaman itu sampai saat pecah Perang Pasifik, yaitu S.Abdullah, suaranya dijuluki “suara emas”. Lagi-lagi yang dibawakannya banyak berisi senandung perasaan, keindahan yang membawa khayalan kepada suasana tamasya yang jauh tak terlupakan oleh hampir semua pencinta musik kroncong antara lain adalah, Kroncong Jangan Curang, Kroncong Mata Setan, Nona Manis, dan lain-lainya.
Tatkala penulis menanyakan kepada Gesang, siapa penyanyi yang menjafi favortitnya sampai sekarang, maka dengan cepat dan pasti ia menyebutkan nama S.Abdullah. Anehnya, meskipun nama S.Abdullah tersebut adalah Said Abdullah. Dengan menyebutkan Es Abdullah tidak duanya sasarannya adalah penyanyi yang menjadi sanjungan Gesang. Bahkan dalam usia 66 tahun, ia masih hafal lagu serta syair yang pernah dikumandangkan oleh S.Abdullah pada masa remajanya.
Suaranya yang memang bagus dan dapat membawakan pula lagu-lagu S.Abdullah pada usia yang muda belia itu, menarik banyak penggemar, tua maupun muda.
Tentu saja saat membina rumah tangga dan keluarga sudah tiba baginya. Ada anak gadis kota BengawanSolo yang menaruh hati kepada Gesang dan orang tua penyanyi muda ini sangat berkenan mempunyai menantu anak gadis tersebut. Gesang yang ditanyakan persetujuannya, mufakat pula dengan pilihan ayahnya itu. Status sosial keluarga anak tersebut jauh berbeda dengan keadaan keluarga Gesang.
Sebagaimana layaknya, peminangan dilakukan dengan syarta dan adat istiadatnya. Pihak keluarga si anak gadis mempertimbangkan masak-masak mengenai bibit-bebet-bobot sang pelamar. Rupanya hasil musyawarah antar keluarga pihak mereka mempertanyakan, apa pekerjaan Gesang, berapa gajinya, apa pangkatnya, siapa keturunanya, priayi atau bukan, dan lain-lain. Alhasil, pinangan ditolak dengan hormat dan dengan alasan Gesang tidak masuk kriteria mereka.
Gesang menyadari keadaanya dan menerima kenyataan yang pahit itu dengan mengucapkan alhamdullah, kalau takdir belum menghendakinya apa hendak dikata.
Pada bulan September 1940, nampaknya roda dunia yang berputar terus, sedang menggelindingkan nasib baik bagi Gesang. Pada saat itu, semua gejala itu, baik bersifat psikologis, dalam suara biola dan suling, secara tegas melambangkan watak dan budi pekerti Gesang yang lemah lembut dan boleh jadi rapuh. Tetapi, pada tahun 1940 itu, setelah berkali-kali merenung dan menyimak ilham yang disampaikan melalui sungai tersebut, terwujudlah melodi dan syair nyanyian Bengawan Solo yang kokoh.
Nama lagu ini dan kumandang nyanyiannya segera bertaburan ke segala penjuru pulau Jawa. Dengan tidak dapat dihalangi oleh ketenaran lagu-lagu lain, Bengawan Solo meluap menyebrangi Laut Jawa ke Kalimantan, Sulawesi, Sumatera dan lain-lain.
Dan pada saat yang bersamaan, setelah diitolak lamarannya dengan seorang gadis kota Bengawan solo tersebut, datanglah gadis yang mau menerimanya dengan apa adanya, gadis tersebut bernama Waliah. Dan mereka pun menikah. Seusai menikah pada tahun 1941, Gesang pun berhasil menyiptakan lagu yang tak kalah populer dengan Bengawan Solo yaitu, “Sapu tangan” melodi dan syair lagu tersebut diciptakannya sendiri. Dan dari lagu-lagu yang diciptakannya tersebut, terdengarlah sampai benua Eropa dan Gesang pun mendapatkan banyak penghargaan dari ciptaanya tersebut.
Ide cerita dari buku ini cukup menarik , penulis mengajak pembaca seolah-olah larut dengan kisah hidup Gesang pada masanya.
Kelebihan buku ini adalah, kisah yang diceritakan pada buku ini cukup jelas dan sangat rinci untuk menceritakan waktu dan tempat kejadian. Dan buku ini sangat memberikan inspirasi kepada pembaca, karena untuk mendapatkan suatu ketenaran itu membutuhkan proses yang panjang dan rumit. Pada buku ini terdapat ketegangan emosional yang dapat membawa pembaca seolah-olah ikut merasakan ketegangan yang diberikan penulis.
Kekurangan buku ini adala, penggunaan bahasa yang kurang komunikatif dan agak sulit untuk dipahami, karena buku ini sudah terlampau lama(1983/1984) sehingga kata-kata pada saat itu sulit juga untuk dipahami. Kurangnya tanda baca, sehingga pembaca sulit juga untuk memahami.

Buku ini adalah buku yang bisa memberikan inspirasi kepada semua orang yang membacanya. Buku ini adalah buku milik Depdikbud yang tidak diperjual belikan. Tujuan dari IDSN sendiri dalam membuat proyek buku-buku seperti ini adalah untuk menimbulkan perubahan yang membina serta meningkatkan mutu kehidupan yang bernilai tinggi berdasarkan Pancasila, dan membina serta memperkuat rasa harga diri, kebanggaan nasional dan kepribadian bangsa. Saran saya adalah, buku ini adalah buku lama yang kata-katanya pada saat itu sulit untuk dipahami, sehingga, sebaiknya buku ini di sunting lagi agar pembaca yang sekarang membacanya bisa lebih memahaminya.

Senin, 28 Desember 2015

Resensi Buku 1 (Buku yang Memotivasi)

Judul                          : Tidak Ada Yang Tidak Bisa
Pengarang                  : Dahlan Iskan
Penerbit                      : JARING PENA
Tempat Terbit            : Jl. Karah Agung 45 Surabaya
Tahun Terbit              : 2009
Dicetak oleh               : PT Tempira Media Grafik
Editor                          : Djoko Pitono
Desain sampul           : Supolo Setyo Wibowo
Jumlah halaman       : 279 halaman
Jumlah bab                : 39 bab
ISBN 978-979-1490-33-7


Dahlan Iskan lahir di Magetan pada tanggal 17 Agustus 1951. Pada saat masa pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono beliau diangkat menjadi Menteri Badan Usaha Milik Negara Indonesia Kabinet indonesia Bersatu.
Sebelum dikenal sebagai sosok penting bagi perkembangan Indonesia, Dahlan Iskan adalah seorang reporter surat kabar di Samarinda, Kalimantan Selatan. Satu tahun kemudian, 1976, Dahlan Iskan beralih profesi menjadi seorang wartawan majalah Tempo. Karirnya berkembang dengan baik, sehingga pada tahun 1982, Dahlan Iskan ditunjuk sebagai pimpinan surat kabar Jawa Pos.
Dahlan Iskan adalah seorang penulis. Dia menulis "Ganti Hati" pada tahun 2008 silam. Buku tersebut diambil dari pengalamannya yang mendapatkan cangkok hati di Tiongkok.
Dari buku tersebut, beliau tidak ragu untuk menulis buku yang lainnya. Setengah bulan setelah buku Ganti Hati beredar di pasaran beliau kedatangan salah satu seorang pembaca bukunya tersebut, pembaca tersebut bukan tamu biasa, pembaca tersebut adalah seorang yang terkemuka didunia perbankan, dia adalah Karmaka Surjaudaja. Kemudian beliau tertarik untuk mengambil kisah pembaca bukunya tersebut. Karmaka sengaja datang kepadanya untuk memberi masukan tentang buku Ganti Hati yang telah ia baca, ternyata apa yang dialaminya sama dengan apa yang dialami Dahlan Iskan dalam buku Ganti Hati.
Kemudian Dahlan Iskan ingin terinspirasi dengan tamunya tersebut, tamunya bercerita tentang kisah yang tak kalah menarik dengan kisah hidupnya sendiri.
Cerita berawal dari kisah hidup seorng bayi dari dua pasangan yang berasal dari Hojka, Tiongkok. Mereka merantau ke Indonesia tepatnya Bandung pada tahun1935 dengan menyebrangi lautan selama 3 hari. Ternyata merantau ke Indonesia begitu menyulitkan keluarga kecil ini, bayi yang berumur 10 bulan mengalami diare, mereka tidak tahu harus berbuat apa, sang ibu dan bayinya terombang ambing dikapal selama berhari-hari, pada saat itu prajurit belanda sangat ketat dalam mengawasi wilayah tersebut, untungnya beberapa tokoh Tionghoa sudah tiba di pelabuhan untuk menolong mereka dan tokoh Tionghoa tersebut berusaha meyakinkan para penguasa Belanda dan akhirnya mereka berhasil untuk bisa masuk ke wilayah tersebut.
Kwee Tjie Kui nama dari ayah bayi tersebut, mengambil pikiran lain, ia menyuruh istrinya untuk pulang lagi ke Hokja karena keadaan di Bandung masih belum aman dan dapat membahayakan mereka, tetapi sang istri berpikiran lain, bayi ini belum sepenuhnya pulih akan penyakitnya, bagaiman kalau nanti pada saat perjalanan dikapal bayi ini malah justru bertambah parah penyakitnya, jadi diputuskan mereka semua tinggal di Bandung. Perlahan-lahan bayi berumur 10 bulan yang bernama Kwie Tjie Hoei tersebut sudah mulai pulih dari penyakitnya. Ketika 32 tahun si bayi menjadi warga negara Indonesia dan namanya pun berganti menjadi Karmaka Surjaudaja.
Awal perjalanan Karmaka sudah begitu sulit dan penuh rintangan, rintangan itu tidak berhenti disana, rintangan baru bermunculan seiring Karmaka yang makin bertumbuh dewasa. Setelah beberapa tahun di Bandung ayahnya diangkat sebagai kepala sekolah di suatu sekolah swasta Tionghoa di Bandung, namun beliau tidak lama menjabat sebagai kepala sekolah di sekolah tersebut dikarenakan Belanda tidak memperbolehkan banyak sekolah-sekolah swasta yang berdiri di Bandung, jadi sekolah tempat ayah Karmaka menjabat pun di tiadakan. Karmaka pun memiliki adik yang bernama Kwee Tjie Ong, kaka beradik ini pun akhirnya sekolah setelah lama menunggu untuk menuntut ilmu, mereka sekolah di SD Long Hua yang jaraknya dekat dengan rumah mereka sehingga hanya perlu berjalan kaki untuk kesana. Ayahnya pun mendapatkan pekerjaan lagi di sebuah pabrik tekstil di Cibeureum, dan dengan ketekunannya ayah Karmaka pun akhirnya diangkat sebagai direktur pabrik tersebut.
Ditengah kondisi yang mulai membaik, Kwee Tjie Kui memberikan kabar yang tidak mengenakan, ia mengalami patah punggung, mau tidak mau Karmaka harus menggantikan posisi ayahnya untuk menghidupi keluarga mereka. Akhirnya Karmaka harus merelakan sekolahnya, dan berusaha mencari kerja. Mencari kerja pada saat itu sangatlah sulit, kemana-mana ia mencari kerja tetaoi tak kunjung dapat. Kemudian ia mencoba melamar ke pabrik tekstil tempat ayahnya bekerja dulu, dan ia diterima, tetapi pada saat ia bekerja ada saja cobaan yang menhadang, ia keluar dari pekerjaan tersebut, ia keluar karena wakil direktur pabrik tersebut berbuat curang kepadanya. Ia pun bingung bagaimana ia bisa menghidupi keluarganya. Lambat laun ayahnya pun pulih dari penyakit patah punggunya tersebut. Akhirnya Karmaka dapat sekolah lagi walaupun ia harus tinggal kelas 1 tingkat sehingga dia setingkat dengan adiknya.
Karmaka dan adiknya pun lulus dari SMA, ia berencana untuk meneruskan pendidikannya di ITB mengambil jurusan teknik elektro, Karmaka sangat senang sekali dengan teknik elektro, ia belajar dengan tekun untuk bisa masuk ke prodi yang ia pilih itu, sedangkan adiknya ingin masuk Fakultas Kedokteran di Universitas Indonesia. Ayah Karmaka oun menjelaskan kepada mereka berdua, bahwa kondisi ekonomi keluarga mereka tidak cukup untuk membiayai keduanya untuk bisa meneruskan pendidikan. Sehingga, salah sau dari mereka harus ada yang mengalah, Karmaka pun akhirnya mengalah dan akhirnya adiknya yang melanjutkan pendidikan. Karmaka pun mencari kerja untuk dapat membantu ayahnya menyekolahkan adiknya.
Ia berusaha mencari kerja kesana-sini, dan akhirnya ia mencoba kembali untuk datang ke pabrik tekstil tempat ia dulu dicurangi oleh wakil direktur dipabrik tersebut. Ternyata usahanya ditolak mentah-mentah oleh wakil direktur tersebut. Ia pun kembali mencari kerja lagi, kebetulan ada sekolah yang sedang mencari guru olahraga, dan ia pun masuk menjadi guru olahraga di sekolah tersebut.
Tak terasa biaya pendidikan adiknya pun mengalami kenaikan, dan ia tidak mungkin hanya mengandalkan pekerjaannya sebagai guru olahraga, akhirnya ia melamar ke sebuah pabrik tekstil yang lainnya, pabrik tekstil ini cukup besar, yang tidak lain adalah milik temannya. Kerja kerasnya membuahkan hasil, dia berhasil membuat adiknya lulus sebagai Dokter, tetapi sebelum adiknya wisuda, kejadian yang tidak diduga terjadi, seperti disambar petir dimusim kemarau sang adik meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas.
Walapunn ia sudah memiliki 2 pekerjaan, tetapi dia merasa masih bisa untuk mendapatkan tambahan penghasilan, dimalam hari ia mengajar sebagai guru les, Karmaka adalah anak yang cerdas jadi ia tidak merassa sulit untuk memberikan les kepaada anak-anak orang kaya pada masa tersebut.
Karena kerja Karmaka yang tekun dan bisa diandalkan, Karmaka diberikan tawaran oleh pemilik pabrik tekstil tempat ia bekerja untuk sekolah di Jepang dan ia akan dijodohkan, tawaran yang sangat menarik, tetapi hati Karmaka berkehendak lain, ia tidak bisa menerima tawaran tersebut karena ia tidak mau berpangku tangan, dan ia memiliki jiwa yang bebas sehingga ia tidak mau terikat dengan orang lain, dan masalah jodoh ia sudah terlanjur menaruh hati pada seorang gadis dimana gadis tersebut adalah anak yang ia ajarkan les.
Lim Khe Tjie adalah ayah dari gadis pujaanya tersebut, Lim memiliki sebuah bank yang sangat terkemuka di Bandung, dengan usahanya yang cukup maju tersebut sudah menjadi adat bagi orang tiongkok untuk pergi mengunjungi makan orang tuanya yang berada di Hokja, sebelum Lim pergi ke Hokja ia ingin putrinya Kweng Ing untuk menikah terlebih dahulu. Tanpa diduga ternyata Lim memiliki simpati kepada Karmaka, ia merasa putrinya pantas mendapatkan seorang suami seperti Karmaka yang memilki jiwa pantang menyerah dan sangat pekerja keras. Tanpa pikir panjang Lim menyuruh Karmaka untuk menikah dengan putrinya. Tetapi Karmaka ragu karena ia merasa tidak pantas untuk menikahi Kweng Ing, karena ia tidak memiliki apa-apa untuk dapat menghidupi Kweng Ing yang berasal dari keluarga berada, apalagi ia telah mengundurkan diri dari pabrik tekstil yang pemiliknya menwarkannya sekolah di Jepang pada saat itu, tetapi Lim tidak ragu dengan keputusannya untuk menikahi putrinya dengan Karmaka, akhirnya mereka berdua menikah diumur karmaka yang masih cukup muda yaitu 25 tahun.
Karmaka dan Kweng Ing telah resmi menjadi suami istri, mereka memulai kehidupan baru, Karmaka membawa Kweng Ing ke rumah kedua orang tuanya yang beda di Jalan Hotel Homan, Bandung bersama keluarga besar dan sembilan adiknya.
Mertua Karmaka Lim Khe Tjie memperkenalkan ia dengan pemilik pabrik NV Padasuka yang merupakan kenalan baiknya yang juga bergerak di bidang tekstil. Karmaka pun kerja di pabrik tersebut, dan ia sangat senang sekali bekerja disana karena pemilik pabrik tersebut Tan Lin Tjik sangat baik kepadanya dan beliau adalah orang yang sangat berpengaruh di bidang bisnis, sehingga Karmaka dapat menambah pengalaman dan ilmu baru pada saat bekerja di pabri NV Padasuka ini.
Ketika Karmaka sedang senang-senangnya bekerja di NV Padasuka, tiba-tiba mertuanya menelponnya dan memberikan kabar buruk, Lim tidak bisa pulang ke Indonesia, karena ada yang menjebaknya sehingga ia tidak bisa mengawasi bank NISP miliknya, ia tertahan di Hokja untuk itu ia menyuruh Karmaka untuk menyelamatkan NISP. Mertuanya menjelaskan bahwa NISP sedang di tangani oleh orang-orang yang ia anggap orang terpercayanya yang sekarang justru menghianatinya, ia menyuruh Karmaka untuk tidak percaya dengan siapapun di bank NISP. Dengan tidak adanya pengalaman ekerja di bank dan tidak mengerti apa-apa mengenai perbankan maka dalam situasi seperti ini ia sangat bingung untuk mengendalikan bank milik mertuanya itu. Akhirnya dengan modal pikiran dan tekad bulat yang ia punya dan ia mengatur strategi untuk bisa masuk kedalam bagian bank NISP.
Karmaka pun akhirnya mencoba strateginya ia berbicara kepada atasan-atasan disana, dan usahanya pun nihil, ia malah dicaci maki oleh atasan-atasan penghianat tersebut, padahal ia hanya meminta untuk menjadi kasir, rupanya strateginya tersebut telah terbaca oleh para penghianat tersebut. Kemudian ia bingung bagaimana caranya untuk bisa mendapatkan kembali NISP ini, awalnya ia ingin menyerah saja, tapi ia akan merasa bersalah apabila menyerah semudah ini kepada mertuanya, pada saat yang bersamaan karyawan-karyawan bank NISP menemuinya dan mengusulkan untuk menyusun bukti-bukti yang kuat untuk dapat menuntut para penghianat tersebut. Akhirnya bukti-bukti pun dapat, ternyata para penghianat itu memberikan promosi bahwa NISP memberikan inden mobil impala, memang pada masa itu mobil impala adalah lambang kemewahan. Promosi itu amat menarik, yang tidak ingin punya mobil pun bisa tergiur untuk menyerahkan uang RP.1,8 juta ke NISP, karena nantinya mereka pun dapat langsung menjualnya dengan keuntungan berlipat. Jumlah orang yang inden mobil lewat NISP ada 3.000 nasabah. Secara yang bersamaan ternyata penghianat-penghianat tersebut baru saja mendirikan perusahaan impor ekspor. Tentu perusahaan pribadi mereka sendiri, diluar NISP tapi memakai nama NISP secara tidak benar. Perusahaan inilah yang berencana melakukan impor impala. Para penghianat ini terlalu ambisius, karena uang yang terkumpul dari 3.000 nasabah tidak mereka gunakan untuk langsung impor mobil, melainkan mereka putar dulu. Pasar dunia sedang maraknya dengan perdagangan karet yang menggiurkan. Mereka ternyata melakukan impor mobil sekaligus mengekspor karet ke Malaysia dan Singapura. Tetapi renaca mereka gagal karena ekspor karetnya gagal, dan akibatnya, uang yang direncanakan untuk impor mobil habis. Nasabah pun marah semarah-marahnya, uang yang mereka kumpulkan untuk inden mobil impala pun hilang. Ternyata kasus impala itu bukan satu-satunya penyelewengan yang terjadi di NISP tetapi para penghianat itu juga mulai punya banyak perusahaan. Lalu, mengambil kredit di NISP dengan prosedur yang tidak benar. Kredit-kredit tersebut banyak juga yang kemudian gagal bayar dan macet. Kalaupun ada yang tidak macet, tapi bunganya tidak dibayarkan, dan yang macet pun kemudian dilakukan eksekusi sitaan jaminan tapi sudah diatur sedemikian rupa sehingga banklah yang dirugikan.
Akhirnya bukti-bukti tersebut terbukti dan para atasan-atasan tersebut ditangkap, dan akhirnya karmaka dapat masuk kedalam bagian NISP. Tetapi masuk kedalam NISP setelah menyingkirkan para penghianat itu juga tidak mudah, Karmaka tidak bisa menjadi pemilik NISP sepenuhnya dikarenakan warga negaranya yang masih belum menjadi warga negara Republik Indonesia. Kemudian ia memberikan alasan kepada Bank Indonesia bahwa ia telah bertahun-tahun mengajukan diri sebagai warga negara Indonesia tetapi tak ada hasil, dan walaupun dia bukan warga negara Indonesia tetapi istrinya adalah warga Indonesia yang merupakan putri kandung dari Lim Khe Tjie pemilik Bank NISP. Akhirnya Bank Indonesia secara bijaksana menerima alasan Karmaka. Karmaka disetujui menjadi direktur NISP dengan syarat, kalau sampai tanggal 1 Juni 1966 kewarganegaraannya belum juga keluar, statusnya sebagai direktur NISP dibatalkan kembali. Meski soal kewarganegaraanya ini bukan salah Karmaka, tetapi ias setuju dengan syarat itu, karena waktu yang diberikan Bank Indonesia cukup panjang. Masih ada waktu 3 tahun untuk mengurusi status WNI nya tersebut.
Karmaka pun mencoba memimpin Bank NISP dan tak mudah untuk mengembalikan kepercayaan nasabah dan para buruh (karyawan). Para buruh demo didepan kantor NISP dan mereka menuntut Bank NISP dan menyuruh direktur bank NISP yang tak lain adalah karmaka untuk berpidato memberikan alasannya. Pada awalnya karmaka sangat bingung karena ia tidak pernah sebelumnya melakukan pidato didepan umum, dengan tekadnya yang kuat mengingat bank ini adalah amanah dari mertuanya akhirnya ia memberanikan diri untuk memberikan pidatonya, awalnya para buruh menyepelekannya dan menganggap Karmaka tidak bertanggung jawab, tetapi tak diduga, para buruh justru luluh dengan ucapan Karmaka yang memberikan pernyataan bahwa ia tahu apa yang sedang dialami para buruh pada saat ini, ia menceritakan kisah ia yang dulu juga pernah menjadi buruh pabrik, akhirnya para buruh yang awalnya sangat marah justru sekarang mendukung Karrmaka untuk dapat memimpin NISP dengan baik.
Setelah mengambil kepercayaan para buruh, kemudian ia mencoba untuk bisa mengembalikan kepercayaan para nasabah. Dengan menyita semua aset para pemimpin yang menghianati bank ini, semua uang nasabah dapat dikembalikan kembali. Dan Tidak sampai satu tahun berkat tangan Karmaka NISP dapat pulih kembali.
Tetapi cobaan pun datang kembali, seorang manajer bank NISP menghadap dirinya untuk mengatakan bahwa sudah saatnya sebagian saham bank NISP diberikan kepada mereka, mereka meminta saham 20%, kalau tidak mereka akan berhenti dari NISP, padahal mereka semua adalah aset terpenting bagi NISP karena mereka semua adalah orang hebat yang dapat menangani NISP. Karmaka tidak semudah itu mengiyakan ancaman manajer tersebut. Ia penasaran mengapa manajer tersebut melakukan ancaman seperti itu, akhirnya ia mencari tahu siapa manajer itu sebenarnya. Ternyata manajer tersebut masih ada hubungan keluarga dengan para pemimpin yang pernah menghianati bank NISP. Pantas saja mereka kompak dalam hal yang seperti ini.
Akhirnya dengan tekad yang bulat, Karmaka tidak mengiyakan ancaman dari manajer tersebut, ia rela mereka berhenti dari NISP asalkan bank yang dibangun dengan susah payah oleh mertuanya ini bisa tetap berjalan baik. Reaksi dari manajer tersebut memang tidak mengenakan hati Karmaka, sang manajer marah dan tanpa diduga Karmaka ternyata yang keluar dari NISP hanya dua orang dikarenakan staff lainya masih ingin bekerja dengan baik di NISP.
Sudah dua kali Karmaka berhasil menyelamatkan bank NISP, ternyata ada lagi cobaan yang datang tak terduga. Kali ini bermula dari lelang saham 43 persen milik mantan para pimpinan bank NISP yang dulu disita Kejaksaan Agung untuk mengembalikan uang-uang nasabah yang inden mobil Impala. Awalnya ia senang karena uang nasabah bank NISP segera terbayar kembali, sehingga nama NISP tidak terbawa-bawa ke citra yang buruk, namun tidak pada saat itu, seseorang yang memenangi lelang tersebut datang ke kantor NISP, seseorang itu mengancam akan menguasai saham NISP 100 persen. Karmaka pun tak tinggal diam ia langsung dengan sigap mengapa orang ini seenaknya berbicara seperti itu, dengan susah payah Karmaka membangun kembali perusahaan mertuanya ini, dan dengan mudahnya orang itu ingin menguasai saham 100 persen. Memang orang tersebut menang lelang saham, tetapi hanya 43 persen. Karmaka pun menyelidikinya, ternyata orang tersebut adalah orang suruhan, ia pun menyelidiki siapa bos dari orang yang mengancamnya tersebut. Setelah menyelidiki, Karmaka akhirnya mendengar bahwa pemenang lelang itu bukan orang sembarangan. Dia adalah salah satu pemilik sebuah bank yang amat-amat besar di Jakarta.
Karmaka pun datang ke Jakarta untuk menemui bos yang memenangi lelang sahamnya itu, tanpa disangka bos tersebut merupakan orang yang ramah dan baik. Kemudian ia masuk kedalam kantor bos tersebut, disana ia mendengar bos tersebut berbicara dengan asistennya dengan bahasa Hokkian yang mana bahasa tersebut adalah bahasa ibunya sendiri. Bos tersebut mengatakan kepada asistennya untuk mengurus urusannya dengan Karrmaka, karena ia sedang sibuk. Kemudian sang asisten pun berbicara dengan Karmaka, asisten tersebut mengatakan, kika 3 hari jual-beli saham ini tidak dilaksanakan maka Karmaka kelak akan menyesal, namun bukan Karmaka namanya kalau ia tidak teguh pada pendiriannya, ia berdiri dan mengatakan bahwa ia datang ke Jakarta bukan untuk mengemis, dan ia mengancam balik asisten itu jika ia berani macam-macam kepada bank NISP maka mereka akan dikubur hidup-hidup di Bandung karena mertuanya adalah seorang yang amat sangat berpengaruh di Bandung. Asisten tersebut pun terkejut dengan ucapan Karmaka, ia langsung memberitahukan ancaman Karmaka itu kepada bosnya, dan akhirnya mereka bilang, ini semua hanyalah kesalahpahaman. Akhirnya mereka setuju Karmaka menjadi Presiden Direktur, dan mereka akhirnya bekerja sama. Karmaka pun sudah merasa lega, pasalnya ia saja tidak tahu kalau mertuanya adalah orang yang berpengaruh di Bandung atau tidak, tiba-tiba kata-kata itu muncul saja dari dirinya, dan untungnya orang-orang tersebut percaya dengan ucapannya.
Setelah kejadian itu, Karmaka pun dengan bangga menelpon mertuanya yang berada di Hokja, ia melaporkan semua yang telah ia lakukan untuk bank NISP. Pada waktu yang bersamaan, ia mendengar keributan kecil yang ada didepan rumahnya, ternyata terdapat mobil jeep didepannya dan beberapa petugasnya turun dari mobil tersebut, kemudian mereka bertanya kepada karmaka, apakah ia mengenal Mr. Tan, ia pun menjawab tidak tahu, dan petugas-petugas itu pun pergi. Selama 30 menit berlalu, petugas-petugas itu pun datang kembali ke rumah Karmaka, dan menculik Karmaka tanpa alasan yang jelas, ia pun bertanya-tanya kepada petugas yang menariknya masuk ke dalam mobil jeep tersebut, sang petugas pun menyuruh Karmaka untuk diam dan tidak usah banyak tanya. Kemudian ia berpikir bahwa ia dicoba untuk dibunuh karena pada kejadian sebelumnya pada saat ia ingin menaiki mobil di kantor NISP mobil tersebut mengalami lecet yang disebabkan oleh sebuah peluru. Kemudian Karmaka yang sedang berpikir mengapa ia ingin dibunuh, dibawa ke sebuah rumah sepi yang berada ditengah sawah. Karmaka pun berada dirumah tesebut selama seharian, dan ia pun mencoba berkomunikasi dengan para petugas yang berjaga diluar rumah tersebut, dan beralasan bahwa ia sakit perut dan ingin buang air besar, tetapi usahanya untuk keluar dari rumah itu gagal, para petugas itu tidak mengizinkannya.
Kemudian pada pukul 02.30, ia membulatkan tekadnya untuk keluar dari rumah tersebut, setalah mengatur rencana, ia pun menjebol jendela tanpa sepengetahuan para petugas tersebut, dengan mencopot baju dan celana serta sepatunya ia lari menyusuri sawah, dengan hanya mengenakan pakaian dalam. Dengan keadaan yang begitu kotor ia pun berlari dan mencari tahu rumah Brigjen Sutoko. Karmaka menuju rumah Brigjen Sutoko karena mertuanya memberitahunya kalau terjadi sesuatu yang gawat ia dapat meminta perlindungan kepada Brigjen Sutoko.
Setibanya di Rumah Brigjen Sutoko, Karmaka langsung menceritakan apa yang terjadi kepadanya. Brigjen tersebut pun memberitahunya bahwa mertua Karmaka adalah tokoh yang sangat berpengaruh di Bandung, pantas saja kalau ia ingin dibunuh oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab tersebut. Mertua Karmaka adalah salah satu pejuang di Bandung, ia sebenarnya pernah sempat ingin diberi gelar sebagai pejuang, tetapi ia tidak mau karena ia bersahabat dengan seorang warga Belanda yang dulu sempat menjajah Indonesia, karena persahabatan itu ia merasa tidak enak dengan sahabatnya itu. Bank NISP sebenarnya awalnya didirikan oleh sahabat mertuanya itu, Lim sang mertua Karmaka pun bekerja disana. Tak lama setelah Indonesia merdeka dari Belanda, sahabat Lim pun mau tidak mau harus pergi dari Indonesia, dan ia menyerahkan bank NISP untuk diurus oleh Lim, ia percaya dengan ketekunan Lim banknya akan tetap berjalan baik.
Karmaka pun menjalani kegiatannya seperti biasa, tetapi ada hal yang membuatnya cukup canggung, karena ia dikawal oleh beberapa orang setiap datang ke kantor, dan ia menggunakan jas anti peluru yang lumayan berat untuk dikenakannya. Maklum saja ia telah dua kali dicoba untuk dibunuh, jadi wajar kalau ia mendapatkan pengawalan yang cukup ketat.
Setelah melewati berbagai rintangan, Karmaka pun dihadapi dengan rintangan selanjutnya, pada September 1965 keadaan negara menjadi kacau, politik dan ekonomi juga keamanan, dan pemerintah mengadakan kegiatan tindakan moneter. Uang Rp. 1.000 menjadi Rp. 1,-. Nasabah pun mulai panik, semua bank tabungan termasuk NISP kontan diserbu para penabung yang kehilangan nilai uangnya secara mendadak. Para penabung mengamuk membabi buta. Akhirnya ia pun mencoba segala cara untuk bisa memulihkan keadaan yang sedang kacau tersebut, mulai dari meminjam uang, menutup cabang NISP yang ada, sampai memberhentikan karyawannya, yang Karmaka sendiri pun sebenarnya berat untuk memberhentikannya.
Benar sekali karyawan-karyawan Karmaka mengamuk mereka tidak mau apabila harus diberhentikan, akhirnya Karmaka pun bingung, mau tidak mau ini harus diakukan, tapi disisi lain ia pun sebenarnya tidak tega harus melakukan ini kepada karyawannya.
Karmaka pun frustasi, ia pun meluapkan kekesalannya, ia berteriak kepada para karyawannya untuk mengambil NISP, ia frustasi. Setiap malam Karmaka tidak bisa tidur, memikirkan bagaimana NISP kedepannya. Terlintaslah pikiran bahwa ia ingin mati saja. Ia pun menulis pesan-pesan terakhir sebelum ia mengakhiri hidupnya. Dan akhirnya Karmaka pun tergeletak dengan meminum sebuah racun.
Karmaka ditemukan sudah dalam keadaan pingsan di kamar rumahnya. Isterinya yang menemukannya dalam keadaan sangat kritis itu. Karmaka sendiri tidak tahu semua itu. Tahu-tahu ia sudah siuman. Yakni ketika sudah di atas tempat tidur di rumah sakit Boromeus, Bandung. Dia segera tahu bahwa uasaha bunuh dirinya gagal.
Dokter pun masuk kedalam ruangannya dan menanyakan mengapa ia berbuat seperti itu, Karmaka pun langsung menceritakan semuanya yang terjadi dan mengapa ia melakukan hal seperti itu. Dan ia minta dokter untuk merahasiakan kalau ia mencoba untuk bunuh diri.
Karmaka pun dirawat di rumah sakit dan ia untuk sementara tidak pergi ke kantor dulu. Karyawan Karmaka pun mencari-cari sosok Karmaka yang tak kunjung datang ke kantor, mereka pun akhirnya tersadar dengan kata-kata Karmaka yang berteriak kepada mereka untuk mengambil NIPS, itu berarti Karmaka sudah sangat frustasi dengan keadaan yang sedang terjadi. Akhirnya mereka pun mencari Karmaka dan segera menemuinya.
Dua orang perwakilan dari para karyawan NISP pun datang ke rumah sakir untuk menawarkan sebuah penawaran. Mereka menawarkan bagaimana kalau pesangon mereka bukan 10 kali dan yang diPHK bukan 3.200 orang, sesuai perkataan Karmaka waktu itu, tetapi mereka meminta untuk menambah pesangon mereka menjadi 20 kali dan yang diPHK 3.000 orang saja. Sungguh Karmaka tidak bisa mengabulkan permintaan mereka. Ia pun berbicara baik-baik bahwa keputusannya tidak bisa diganggu gugat. Salah satu dari karyawan itu pun langsung berdiri dan membentak Karmaka, sedangkan yang satu laginya memohon kalau ia ingin bekerja lebih lama di NISP dan rela jikalau mereka lembur mereka mau untuk tidak dibayar dari lembur tersebut. Melihat sikap karyawannya itu Karmaka pun akhirnya luluh, ia berpikir lagi untuk penawaran itu dan memberikan syarat, yakni mereka yang masih tertinggal di perusahaan harus mau dalam lima tahun tidak akan naik gaji. Akhirnya mereka pun setuju, dan sebagai kompensasinya, Karmaka juga berjanji kalau semua karyawan mau bekerja dengan syarat tersebut kelak, kalau NISP sudah maju, kesejahteraan karyawan akan dia tingkatkan.
Keadaan lain yang tak kalah membuat Karmaka terkejut dan senang adalah, ketika ia sedang dihadapi oleh situasi sulit seperti ini, ternyata kewarganegaraanya sudah resmi menjadi warga negara Indonesia dan ditandatangani langsung oleh Bung Karno. Itu berarti ia bisa menjabat sebagai Direktur Utama untuk waktu yang sangat panjang.
Setelah mendapatkan status kewarganegaraanya itu Karmaka melanjutkan untuk mengatasi keadaan NISP yang sedang kacau. Ia mencari dana kesana sini untuk bisa menyelesaikan masalahnya. Sang istri pun sampai rela berkorban untuk merelakan rumah yang merupakan warisan ayahnya sebagai jaminan, awalnya ia berat untuk melepaskannya, tetapi mengingat ini untuk kepentingan mempertahankan bank NISP ia pun akhirnya merelakan rumah itu. Pengorbanan isteri Karmaka beleum berhenti disitu. Agar perusahaan bisa berjalan dan agar rumah yang dijaminkan bisa selamat, sang isteri harus ikut kerja keras. Karmaka sendiri sudah berjanji tidak akan menerima gaji dari perusahaan dan ia semakin dibelit kesulitan untuk menghidupi isteri dan anak-anaknya yang kini sudah empat orang, maka dalam keadaan seperti itu dan dalam keadaan ekonomi nasional yang juga masih sulit, isteri Karmaka mengajukan usul pada Karmaka, ia ingin bekerja untuk dapat membantu Karmaka dalam menghidupi keluarganya. Isteri Karmaka pun pergi ke Hongkong untuk kursus kecantikan. Disana ia bisa kursus kecantikan yang paling modern dengan biaya yang murah. Sebab bapak dan ibunya masih tinggal di sana karena masih belum diizinkan kembali ke Indonesia. Dia bisa tinggal di rumah orang tuanya itu.
Tiga bulan kemudian, isteri Karmaka sudah pulang dan sudah mahir dibidang kecantikan. Bahkan yang paling modern sekali pun. Karena itu dia langsung membuka usaha salon di rumahnya. Salon itu ia namakan ‘Star Salon’. Alat-alatnya memang tak baru, tetapi karena ia beli di Hongkong, masih tergolong modern juga di Indonesia.
Salon Star milik isteri Karmaka itu memang mengalami kemajuan yang pesat. Bahkan, kalau hari Sabtu dan Minggu, harus kerja sepanjang hari dan malam. Sangat sering adanya banyak acara perkawinan di mana banyak calon pengantin wanita mendaftar untuk dirias dan dipercantik rambut serta wajahnya. Untuk itu, isteri Karmaka sudah harus mulai memepersiapkan jam 01.00 dini hari. Lalu mulai mengerjakan tata rias seluruh keluarga pengantin satu-persatu hingga pagi harinya menjelang pesta perkawinan dilangsungkan.
Pelan-pelan bank NISP yang staatusnya sudah menjadi bank umum bisa dihidupkan kembali. Bersamaan dengan hal itu ketenangan Karnaka kembali diusik, kali ini bank besar yang jadi partner baru yang diandalkannya dulu itu ternyata keropos. Bank tersebut dikors oleh Bank Indonesia. Padahal bank tersebut sudah menanggung pinjaman antarbank di NISP sebesar Rp.46 juta(uang baru). Ini gara-gara bank tersebut setiap hari kalah kliring. Dan setiap kalah kliring selalu meminjam uang dari NISP untuk meutupinya. Karmaka memang sudah sering menolak permintaan pinjam uang tersebut, namun ia selalu dibentak dengan kata-kata yang memojokan. Kata-kata tersebut adalah, mengapa mereka ikut memiliki NISP kalau tidak bisa dimanfaatkan, oleh karena itu Karmaka meminjamkan mereka uang. Ternyata lama-lama bank besar tersebut tidak kuat dan harus ditutup oleh pemerintah. Kini piutang Rp.46 juta, suatu jumlah yang cukup besar bagi NISP saat itu, menjadi ganjalan yang akan sangat mengganggu NISP.
Karmaka pun sangat marah, ia mengatakan jika masalah ini tidak bisa diselesaikan makan NISP akan bangkrut. Karena emosinya ia sampai ingin menembak pemilik bank itu, tetapi usahanya dihentikan oleh isteri pemilik bank tersebut. Emosi Karmaka pun mereda setelah mendengar kata-kata sang pemilik bank tersebut. Ia mengatakan bahwa dulu Karmaka datang kepadanya untuk menjual sahamnya kepada bank yang pada saat itu sedang maju-majunya, dan pada saat itu ia mau membantu Karmaka dengan tulus. Dan sekarang, pada saat bank yang dulu sempat membantu NISP berbalik sedang menghadapi kesulitan. Karmaka pun mengakhirinya dengan bagaimana cara menyelesaikan ini semua, pemilik bank tersebut pun menyerahkan semua saham-sahamnya kepada NISP. Karmaka pun bingung, kalau diambil berarti seluruh beban itu akan menjadi bebannya. Kalau tidak diambil, dan pemilik bank itupun ditembak, toh juga tidak akan menyelesaikan masalah. Bahkan kalau penembakan itu dia lakukan masyarakat akan heboh dan nama NISP akan hancur. Akhirnya mau tidak mau Karmaka pun menyetujui dengan apa yang dikatakan oleh pemilik bank tersebut. Dan saham NISP pun berada ditangan isteri Karmaka yang mana ia adalah puteri sang pemilik bank NISP.
Setelah 95 persen saham NISP berada ditangan isterinya. Karmaka semakin terdorong untuk lebih mati-matian lagi menyelamatkan bank yang didirikan mertuanya itu. Dengan mengendarai vespa ia mencari nasabah baru. Dan benar saja dengan bantuan Tuhan ada saja orang yang mau membantunya. Salah satu temannya Peter Eko Sutioso, SH. Peter membantunya mengenalkannya dengan relasinya, bahkan ia sampai meminjamkan ruang tamu yang ada dirumahnya sebagai kantor NISP, tanpa sewa atau bayaran apapun. Benar saja, dengan waktu yang singkat mereka mendapatkan 160 nasabah, dan keadaan NISP semakin membaik. Bahkan krisis moneter yang terjadi lagi ditahun 1968, NISP tidak terpengaruh lagi. Banyak bank yang berjatuhan, tetapi NISP justru malah semakin berkibar, itu karena nasabah-nasabah percaya bahwa NISP dapat mengendalikannya, dan NISP pun kebanjiran nasabah.
Ditengah membanjirnya nasabah baru ditahun 1968 yang menjadi titik balik bagi NISP, pada saat itu juga NISP menyita sebuah bangunan yang dijaminkan oleh salah satu nasabah di Jakarta, karena kreditnya yang macet. Rupanya bank NISP tidak satu-satunya bank tempat ia mengkredit beberapa uang, bank Daiwa Perdania juga jadi bank tempat ia mengkredit beberapa uang, dan sontak saja bank Daiwa milik orang Jepang ini ingin menyita bangunan tersebut juga, tetapi bank NISP memenangkan bangunan tersebut karena bank NISP memilik dokumen yang lebih lengkap. Pimpinan bank Daiwa ini kesal dengan apa yang telah dimenagkan oleh bank NISP, kemudian ia marah-marah didepan Karmaka dengan menggunakan bahasa Jepang. Karmaka yang dulunya mendapatkan juara 2 dibidang bahasa jepang sewaktu sekolah dasar mengerti apa yang dikatakan oleh pimpinan bank Daiwa tersebut, ia pun menanggapinya dengan santai, dan tidak ingin balik melawannya, justru ia malah memberikan penawaran, ia hanya memerlukan pengembalian uang sebesar Rp 8 juta dari nasabah tersebut, sedangkan nilai asetnya mencapai paling tidak Rp 25 juta. NISP dapat membantu proses untuk mendapatkan sisanya untuk membayar kredit macet di Daiwa Perdania. Dengan penawaran yang diberikan Karmaka, pimpinan bank Daiwa ini justru marah kepada Karrmaka, karena tawaran tersebut tidak masuk akal. Kemudian dengan berbahasa bahasa Jepang, Karrmaka pun menjelaskannya kembali dengan lebih detil penawaran tersebut sehingga pemilik bank Daiwa itu pun setuju dengan Karmaka. Pimpinan bank Daiwa itu pun kaget karena Karmaka dapat berbahasa bahasa Jepang, dan akhirnya ia pun luluh dengan keramahan dan pikiran positif Karnaka terhadapnya, ia berpikiran bahwa sangat langka ada orang seperti Karmaka ini. Akhirnya dengan Pikiran postif dan kebaikan yang ia tunjukan kepada pemilik bank Daiwa tersebut pun berhasil membuat NISP menjadi partner bank Daiwa. Karmaka pun sangat senang, yang awalnya ia hanya ingin membantu bank Daiwa, justru ia mendapatkan yang lebih. NISP bisa mendapatkan partner bank asing yang sedang maju tersebut.
Setelah keadaan NISP yang semakin membaik, kini saatnya Karmaka memberikan pendidikan kepada anak-anaknya. Ia ingin anaknya tidak terlena dengan apa yang telah ayahnya dapati sekarang. Ia ingin anak-anaknya juga berjuang sama sepertinya. Mendapatkan hal yang sekarang yang telah ia dapati sungguh tak mudah. Pramana anak pertamanya berhasil ia sekolahkan menjadi seorang dokter muda lulusan Universitas Padjajaran Bandung. Pramana ternyata memiliki jiwa seperti ayahnya, ia adalah seorang yang mandiri dan pekerja keras. Ia menjalani pekerjaan sebagai dokter inpres di pelosok Cianjur Selatan, pekerjaan ini ia ambil sebagai syarat sebelum ia menjadi dokter spesialis. Pada saat itu pekerjaan yang ia ambil di pelosok Cianjur ini tidak mudah untuk dikerjakan, karena banyak sekali rintangan untuk dapat bekerja disana, mulai dari keadaan desa yang sangat terpencil sehingga sulit untuk dilalui dengan kendaraan, rumah yang menjadi tempat peristirahatan Pramana yang terdapat banyak sekali serangga dan hewan melata seperti ular, dan lain-lain. Namun ini tidak jadi persoalan Pramana ia tetap ikhlas bekerja disana. Warga-warga disana pun sangat simpatis dengan kebaikan dan keikhlasan Pramana yang mau mengobati mereka tanpa bayaran sepeserpun.
Sama halnya dengan Pramana anak kedua hingga anak kelima Karmaka pun adalah anak yang dapat diandalkan. Ketika Karmaka mendapatkan vonis oleh dokter bahwa ia tidak bisa lama hidup di dunia ini karena kanker liver yang ia miliki cukup lama, dan itupun tanpa ia sadari, anak-anak Karmaka pun berhasil mengendalikan NISP kalau NISP sedang mengalami kesulitan. Anak-anak Karmaka rata-rata semuanya bergelar MBA. Mereka sekolah dengan tekun dan berhasil mendapatkan gelar tersebut dengan waktu yang cukup cepat.
Kondisi kesehatan Karmaka semakin memburuk, ia dihinggapi bermacam-macam penyakit, dati empedu pecah, transplantasi liver, kedua ginjal yang satu dioperasi dan dibuang karena menderita tumor cancer ganas, dan sisanya satu lagi juga terpaksa ditransplantasi, dan tumor kankernya menjalar ke kandung kemih, dan selama tiga tahun ia dioperasi sebanyak 7 kali. Tetapi itu tak membuatnya frustasi, ia selalu giat dan berpikir positif bahwa penyakitnya akan sembuh dan semua akan baik-baik saja. Dan benar saja, ia sembuh dari penyakitnya dan sekarang ia bisa mengawasi NISP dengan baik.
Ide dari cerita pada buku ini cukup menarik. Cara penyampaian kisah-kisahnya cukup detil, sehingga pembaca dapat larut dalam dengan ketegangan emosional yang sajikan oleh penulis. Sifat dan watak tokoh utama dalam buku ini juga sangat mendominasi cerita.
Kelebihan buku ini adalah, kelengkapan data yang diberikan penulis pada setiap kisah-kisah yang disajikan. Disisipkanya foto sang tokoh utama juga membuat cerita semakin menarik dan pembaca seolah-olah ada didalam cerita. Penggunaan bahasa yang komunikatif sehingga mudah dipahami oleh pembaca.
Kekurangan buku ini adalah, kurangnya tanda baca, beberapa konflik yang sedikit membuah bingung pembaca.
Buku ini adalah buku yang berguna untuk dapat memotivasi semua orang, dengan kisah-kisah nyata yang ada didalamnya yang sepertinya mustahil jika ada orang seperti Karmaka Surjaudaja. Dan ternyata orang seperti ia ada dan ia bisa memberikan inspirasi bahwa didunia ini tidak ada yang tidak mungkin. Saran saya adalah, sebaiknya buku ini lebih banyak lagi memberikan cerita pada masa kecil Karmaka, karena hanya secara singkat penulis menggambarkan masa kecil Karmaka. Dan tanda baca pada buku ini harus lebih diperhatikan lagi.


**Profile dahlan iskan dikutip dari http://profil.merdeka.com/indonesia/d/dahlan-iskan/