Rabu, 30 Desember 2015

Resensi Buku 2 (Buku Non Fiksi)

Judul                            : Gesang Martohartono
Pengarang                   : Firdaus Burhan
Penerbit                       : Departemen pendidikan dan kebudayaan
Tahun Terbit               : 1983/1984
Penyunting                  : 1. Drs. P. Wayong
                                         2. Drs. M. Soenjata Kartadarmadja
                                         3. Dra. Sutjiatiningsih
Desain sampul            : M. Soenjata
Jumlah halaman        : 111 halaman
Jumlah bab                 : 6 bab



            Proyek Investasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, telah berhasil menerbitkan beberapa jenis buku, salah satunya adalah buku biografi dan kesejarahan. Buku-buku ini diselesaikan berkat adanya kerjasama antara para penulis dengan tenaga-tenaga didalam proyek. Usahan penulisan buku-buku seperti ini dibuat guna membina nilai perjuangan bangsa, kebanggan serta kemanfaatan nasional.
Berawal dari proyek ini, IDSN membuat buku tentang biografi seseorang yang berpengaruh dalam bidang budaya dan sejarah. IDSN mencoba untuk mengambil kisah sesorang yang berpengaruh dalam bidang kesenian, yaitu Gesang Martohartono.
Gesang adalah pencipta lagu Bengawan Solo. Ciptaan-ciptaannya, semuanya merupakam komposisi vokal, yaitu nyanyian dalam bentuk kroncong langgam. Jumlah karangan lagunya, sampai saat ini berjumlah sekitar sebelas atau duabelas lagu saja. Dan yang menjadi sangat populer adalah lagu Bengawan Solo, Jembatan Merah, dan Saputangan.
Ia tidak membuat lagu-lagu perjuangan seperti komponis Corrnel Simanjuntak, Ismail Marzuki, Ibu Sud dan lain-lain. Ia tidak membuat lagu-lagu pujian terhadap tanah air atau ikrar terhadap negeri tumpah darahnya, sebagaimana yang diperbuat antara lain oleh komponis Kusbini. Namun, ia memperoleh nama tenar karena lagunya yang sederhana saja, yakni Bengawan Solo. Ketenaran itu nampaknya bukan saja terbatas dalam wilayah tanah air Indonesia, melainkan sampai pula ke negeri-negeri lain, terutama Jepang.
Gesang sendiri tidak bisa membaca not-balok, dan tidak pandai dalam memainkan sesuatu alat musik utama dalam orkestra, biola, piano, flute, kecuali memainkan suling bambu yang dilaras dengan tangga nada diatonik.
Walaupun tidak dapat memainkan salah satu alat musik orkestra, namun itu tidak menghalangi nasib baik yang menghampiri Gesang. Ia mencintai seni karawitan, musik tradisional tempat kelahirannya, Surakarta. Karena bidang pilihnnya itu meliputi permusikan sistem diatonik, maka penilaian musikal terhadap Gesang, sampai batas tertentu dituntut oleh persyaratan cipta-menyipta bidang permusikan dunia yang mempergunakan sistem tersebut. Disinah letak penghargaan kepada Gesang sebagai seorang komponis. Ia bukan saja menciptakan Bengawan Solo, tetapi sekaligus konflid antara dua buah kenyataan yang sama-sama kuatnya, tetapi tidak saling menunjang, dalam menilai kadar kompositoris pada karya-karya musiknya.
Pada tahun 1979, tiga juta masyarakat Jepang melihat pertunjukan Gesang pada acara “suara karya” ditelevisi. Semuanya tanggap rasa terhadap lagu Bengawan Solo yang dinyanyikan Gesang. Tidak dapat dipungkiri bahwa rasa haru mereka mendengarkan lagu tersebut. Bukan semata-mata rangsangan keindahan melodi dari lagunya saja, tetapi dalam lubuk kenangan mereka tergugah berbagai macam asosiasi dalam kehidupan mereka.
Itulah yang disampaikan Gesang kepada Penulis pada tahun 1983, sewaktu itu Gesang berumur 66 tahun, dan dengan senang hati menceritakan kisahnya kepada penulis.
Gesang  selanjutnya menceritakan kisah selanjutnya, ia menciptakan nyanyian vokal bengawan solo pada bulan september 1940, ketika ia berusia 23 tahun. Ia menyatakan sendiri bahwa lagu ini adalah kelompok lagu yang pada masa itu dinamakan langgam keroncong. Bengawan Solo disusun dalam 32 birama. Gesang tidak menetapkan nada dasar khusus lagu tersebut, yang berarti dapat dinyanyikan sesuai dengan kemampuan tentang suara setiap penyanyi, dan menurut pilihan suasana yang dirasakan cocok dengan penggunaan tangga nada tertentu. Secara tidak tertulis, Gesang menyadari bahwa hal tersebut selaras dengan falsafah masyarakat Jawa.
Ada  beberapa birama atau beberapa bagian lagu Bengawan Solo yang mengalami perobahan dari melodi asli tatkala Gesang menyanyikannya pertama kali pada tahun 1940. Gesang sendiri mempertahankan yang menjadi kelaziman dinyanyikan itu sebagai melodi yang semestinya. Hal itu dapat pula terjadi tatkala pencatat melodi yang dinyanyikan pertama kali oleh Gesang, ia tidak memandang perlu untuk secara kritis menotasikan ciptaan tersebut dengan setepat-tepatnya, karena sebagaimana telah dikatakan semula kebebasan yang terbatas adalah ciri musik Indonesia, dimana hal itu banyak manfaatnya yang positif.
Selain menyiptakan melodinya. Gesang juga mengarang syair lagu Bengawan Solo itu sendiri. Meskipun hanya merupakan beberapa kalimat yang nampaknya sederhana saja, namun ia mampu membangunkan citra keluhuran sejarah yang amat luas.
Disekitar tahun 1930 di kota Surakarta sudah banyak bermunculan orkes-orkes kroncong kecil-kecilan, di samping yang besar. Menurut ukuran setempat pada masa itu, orkes yang disebut orkes kroncong harus memenuhi syarat baku, ialah selain memiliki biola, suling, gitar, string-bas, jukelele, dilengkapi pula dengan alat-alat tiup. Orkes-orkes yang disebut kecil, adalah yang tidak mempergunakan alat-alat tiup tersebut.
Nama-nama orkestra kroncong pada zaman itu, antara lain, adalah Monte Carlo, Sinar Bulan, yang kemudian pecah dua sehingga lahir pula orkes bernama Sinar Muda, dan selanjutnya ialah orkes Bunga Mawar.
Sesorang yang kemudian menjadi sesepuh salah satu dari perkumulan kroncong Bunga Mawar, adalah Mamiek Martosudiro. Menurut kenang-kenangan Martosudiro, Gesang pada masa mudanya memiliki gaya dan warna suara yang khas.  Penyanyi-penyanyi terkenal pada masa itu, antara lain, Kamto, S. Dimin, Samsidi, Ismanto, Suparto, Waluyo, dan Gesang. Suparto dan Wahuhyo mengikuti gaya Samsidi, tetapi Gesang memiliki ciri tersendiri.
Meskipun usianya dengan Mamiek dan beberapa seniman kroncong seperkumpulannya, perbedaan usianya seperti kakak dengan adik, mereka memanggil Gesang dengan panggilan penghargaan “Embah Gesang”, karena pribadinya yang kaya senyum dan banyak diam. Dia tidak mengelakkan senda gurau tersebut, tetapi keterlibatannya kedalam guyonan anak muda itu, hanyalah menyertakan senyum saja. Dia diajak menyanyi untuk keperluan membantu orang lain, untuk keperluan membantu orang lain, untuk keperluan hajatan, senantiasa dikabulkannya tanpa pamrih. Kalau peribahasa mengatakan, ia adalah orang yang cepat kaki ringan tangan dalam beramal kepada orang lain.
            Bila kini manusia dimana-mana mendengar dua kata Bengawan Solo, maka pertama-tama asosiasi fikirannya bukanlah sebuah sungai, tetap nada-nada melodi yang semula diberi predikat langgam kroncong.
            Di Solo pula pertama-tama musik kroncong memperkenalkan gaya baru dalam tabuhan yang bertingkatan, atau kendangan mempergunakan cello yang dipetik, bukan digesek. Hasil dari kendangan tersebut, menghidupkan warna musiknya menjadi lebih segar. Pemikirannya tidak jauh dari gaya musik karawitan, atau musik gamelan, maupun permainan kotekan tradisional pada lesung.
            Tatkala seorang wartawati dari televisi yang kebetulan datang pula untuk mewawancarai Gesang dan membuat film tentang Gesang, ia bertanya mengapa kroncong pada masa lampau itu kedengarannya lebih mempesona dari yang sekarang, meski yang sekarang ini lebih modern alat-alat musiknya, pakai dirigen, dan amplifier segala.
            Gesang hanya tersenyum dan berkata sederhana, bahwa kemungkinan karena belum modern itu, dan kroncong masih merupakan kroncong. Jawaban ini sangat besar artinya dalam mengungkapkan hakekat kesenian kroncong yang sesungguhnya. Ia adalah seumpama Bengawan Solo itu sendiri, pada awal alirannya yang jernih dan beriak-riak keci di sela batu li lembah-lembah Gunung Seribu.
            Keluarga Gesang tinggal di Kampung Singosaren dalam kota Surakarta, pada hari Rebo Pon, tanggal 1 Oktober 1917, keluarga pak Martodiharjo dikaruniai anak yang ke lima. Oleh sang ayah bayi itu diberi nama Sutadi. Tidak ada gelar raden atau sesuatu panggilan kehormatan lain yang menyertai nama anak itu, karena pak Martodiharjo bukanlah kalangan bangsawan. Ia seorang pengusaha kecil yang menghidupi seluruh keluarganya dari penghasilan membuat kain batik secara kecil-kecilan.
            Dalam keadaan perekonomian penduduk pribumi bangsa Indonesia yang berat dalam masa Perang Dunia pertama itu, pak Martodiharjo masih pula harus memikul tanggungjawab terhadap empat orang anaknya, sebelum Sutadi. Mereka adalah, Resodiharjo, anak perempuan, yang hingga sekarang(1983) masih hidup dan berdiam di Kampung Notodiningratan. Jumirah anak perempuan juga, tetapi sudah meninggal. Jawatir, anak lelaki, sudah meninggal. Yasid yang kini(1983) juga sudah meninggal, dan semasa hidupnya dahulu pernah terkenal pula di Solo, sebagai pemain kiri luar dari perkumpulan sepak bola Persis Solo.
            Namun pak Martodiharjo tidak mau menyerah kepada kesulitan dan membiarkan keluarganya terhambat oleh rintangan-rintangan. Ia berusaha sekuat tenaga menurut kadar kemampuannya, dan ingin mengatasi segala kesulitan masalah rumah tangga yang kadang-kadang disebabkan oleh perekonomianya yang menyesakkan nafas itu, secara tenang dan tidak diketahui anak-anaknya. Baginya berlaku pedoman lama, “makan atau tidak makan, asal berkumpul”. Meskipun kemakmuran materil itu penting untuk menunjang penghidupan, tetapi kerukunannya dan kebersamaan dalam satu keluarga dirasakannya lebih penting lagi. Terlebih lagi, isteri yang dicintainya telah meninggal tatkala anaknya yang nomor lima baru berusia empat tahun. Sebelum meninggal, almarhumah menderita sakit-sakitan setelah anaknya yang bungsu ini lahir, sehingga anak itu banyak diasuh oleh pembantu rumah tangga mereka, yang dipanggil dengan sebutan “Mbok Bon”. Jangan pula diukur kehadiran seorang pembantu rumah tangga dalam keluarga pak Martodiharjo itu sebagai gejala orang yang terlalu mampu. Menurut kebiasaan dikota-kota besar. Dimana hubungan antara pembantu dengan orang rumah adalah hubungan buruh dengan juragan.
            Keadaan penghidupan dan sosial ekonomis yang mendesaklah yang membuat seakan-akan rumah tangga bangsa pribumi seringkali pula menampung sanak keluarga agar tidak terlantar, meskipun bangsa Eropa menamakannya kebiasaan parasit. Kodrat dan pengaruh dari rasa kebersamaan, kegotong royongan yang bersifat kosmis itu meresap pula sampai-sampai kepada alam fikiran masyarakat Jawa, seni sastranya, puisi dan karawitannya. Dan inilah yang membuat sikap mereka tidak menyukai perpecahan yang azasi.
            “Banyak anak, banyak rezeki”, bukan saja menjadi ucapan orang Indonesia, tetapi bangsa Eropa pun mempercayainya pula, terbukti dari ucapan dalam bahasa mereka, “Hoe meerzielen hoe meer vreugd”, atau “the morfe the merrier”, meskipun masyarakat kita percaya bahwa yang banyak itu adalah rezeki.
            Pak Martodiharjo belum menemui pada zamannya itu suatu kampanye mengenai keluarga berencana dalam pemerintahan kolonial atas kepulauan Indonesia yang berpenduduk enampuluh juta jiwa. Perkawinannya dengan isterinya dulu wanita sederhana yang berasal dari Pedan itu, adalah dengan menjunjung tinggi segala azas tujuan menegakkan rumah tangga sambil mengindahkan segala yang hak dan haram menurut agama, dengan memperhatikan naluri bibit-bebet-bobot warisan leluhur. Anak yang dilahirkan adalah karunia Tuhan, titipanNYA, maka harus dijaga dan dididik baik-baik.
            Suami isteri itu menyayangi kelima orang anaknya tanpa pilih kasih, dan keadaan mereka memang cukup rukun dan bahagia. Bukan pula berarti bahwa hidup yang dilaluinya selalu mulus tanpa onak dan durinya. Tetapi, meskipun pak Martodiharjo tidak mengenal ilmu pendidikan dan ilmu jiwa, namun falsafah hidup yang diterimanya dari leluhurnya, menahan suami isteri itu untuk bertengkar didekat anak-anaknya. Dalam keadaan maraha, pak Martodiharjo hanyalah diam saja, meskipun air mukanya tidak memperlihatkan perubahan yang terlalu nyata. Hal ini merupakan unsur pendidikan kepada anak-anaknya agar tidak menghamburkan nafsu sehingga mengorbankan adab dan kepribadian, karena tidak dapat mengekang emosi. Amanat leluhur mereka, kalau dalam suatu pertengkaran pihak yang pertama-tama menutup mulut, itulah pertanda orang yang berbudi luhur.
            Isteri pak Martodiharjo kesehatanya makin menurun setelah melahirkan anak terakhir. Ditambah lagi sibayi menderita penyakit yang cukup berat. Berbagai usaha pengobatan tradisional telah dilakukan, tetapi suami isteri itu hanya dapat berlinang air mata, karena sang anak tidak menampakan gejala membaik dari sakitnya. Menurut kepercayaan mistik, kemungkinan nama yang disandang sang anak tidak cocok kepadanya, hendaklah diganti dengan nama lain. Begitu besar harapan dan hasrat sang ayah dan ibu beserta seluruh keluarga, agar si kecil itu dikarunai Allah kelangsungan hidup. Maka bersepakatlah mereka untuk memberikan nama lain kepada si kecil. Kalau anak tersebut sembuh kelak akan diadakan selamatan bubur merah putihmengganti doa serta harapan mereka kepada si jantung hati, yakni Gesang, yang artinya hidup.
            Hidup bukan hanya sekedar hidup untuk bernafas, makan dan minum, tetapi hidup dalam arti kata hidup yang bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. Inilah hasrat yang menyertai upacara tradisional sederhana mengganti nama Sutadi dengan Gesang.
            Keajaiban itu pun diturunkan Tuhan kepada keluarga yang beriman itu, anak kecil itu sembuh, berangsur kuat kembali dan akhirnya sehat walafiat. Peristiwa inilah yang merupakan suatu pengalaman yang paling indah dalam keluarga Martodiharjo yang tidak kaya dalam materi, tetapi kaya dengan rasa bersyukur kepada Allah.
            Gesang tumbuh sebagai kanak-kanak yang normal, tetapi karena ibunya yang sakit-sakitan, ia banyak diasuh oleh Mbok Bon. Seperti diceritakan dimuka. Tetapi pada usia balita, masih sangat rindu akan kasih sayang ibu. Tetapi takdir telah menentukan lain, karena ibunya meninggal dunia. Masih terlalu muda sang ibu pergi untuk selama-lamanya. Gesang sebagai kanak-kanak yang baru berusia empat tahun, pada saat peristiwa itu belum merasakan betul kemalangan yang menimpa keluarga mereka. Tetapi ayahnya, pak Martodiharji, bumi tempat berpijak seakan amblas dibawah telapak kakinya, dan seluruh pojok rumah tiba-tiba kosong dan gersang. Tiada lagi orang yang disayanginya, pendamping akrabnya dalam suka dan duka menempuh liku-liku penghidupan. Teringat semua kepadanya suara khas yang hanya dia sendirilah yang mendambakannya, suara sang isteri, tatkala mereka bersuka, dan pada saat-saat yang tegang. Kini, ingin didengarnya kembali, bahkan suara sang isteri tatkala tatkala agak marah, ingin diresapkannya walau agak sejenak saja, namun semua itu tidak akan terulang lagi. Semakin hari semakin jauh perpisahan itu terjadi, walau dalam kenangan tak hendak dilepaskan oleh ayah yang malang itu.
            Tak dapat ia memicingkan mata, samapi kelelahan yang amat sangat melenakannya dalam tidur yang gelisah. Ditenga malam yang larut ia terbangun dan berlinang air mata, membuka jendela, yang biasa dibuka oleh tangan almarhumah isterinya selagi masih hidup. Timbul berbagai penyesalan dalam hatinya, terkenang akan perbuatan-perbuatan kecilnya yang menjadikan sang isteri bersedih atau kecewa. Kini ia ingin menebusnya walau dengan paroham nyawanya sendiri, namun semuanya sudah berlalu dan tak akan kembali lagi. Bintang-bintang yang berkelap-kelip dilangit ditatapnya seakan wajah isterinya yang tersenyum sayu membujuknya.
            Anak-anak dibawa ayahnya berziarah ke makam almarhumah ibu mereka. Mereka sudah cukup besar, terutama anak-anak perempuan, tidak kuasa membendung tangannya sambil menggumaman kata-kata yang memilukan hati. Mereja kehilangan sesuatu yang melibihi segala nilai dan kekayaan harga dunia, yakni ibu yang tak mungkin dapat diganti dengan siapapun. Tanah yang masih merah itu seakan duka pada perasaan mereka yang terluka. Kini, si kecil anak yang paling bungsu itu, mulai memperlihatkan gejala yang aneh-aneh seakan bathinnya berkata dan berbisik mengenai kemalangan yang tiada tara dialami bocah itu, meskiun mulutnya hanya sekali-sekali menjerit “..ibu-ibu”, kemudian menangis tiada bersebab. Mbok Bon yang setia itulah yang menggendongnya pergi sambil mengalihkan perhatiannya kepada apa saja yang disangkanya dapat menghibur si bocah.
            Tanah dibawah lindungan pohon bungan kamboja itu berangsur menua warnanya dan tinggalah pohon bungan kamboja itu berangsur-angsur menua warnanya dan tinggalah sebuah batu nisan yang menandai peristirahatan yang terakhir bagi almarhumah.
            Setiap kali berziarah, pak Martodiharjo menyadari bahwa hidup didunia itu hanyalah sebentar, dan tidak ada sesuatu apapun yang kekal dalam alam yang fana ini. dia sendiripun semakin hari semakin parak juga kepada alam baka, dimana isterinya telah mendahului berangkat kesana. Manusia mati harus meninggalkan amal yang baik dan nama yang baik. Dunia dijinjing, akhirat dijunjung. Kematian isterinya mau tak mau berpengaruh besar terhadap semangatnya untuk mencari nafkah. Keadaan perdagangan kain batik dan perekonomian pengusaha kecil tambah terjepit oleh pengusaha-pengusaha besar yang bermodal kuat Pak Martodiharjo yang  sudah kehilangan tangan kananya itu, merasakan pula pukulan keadaan. Tetapi anak-anaknya dan kenangan kepada isterinya menghalau rasa putus asa dan kelemahan. Ia meneruskan usahanya dengan bantuan anak-anaknya. Berbahagialah orang-orang yang sempat bersua dengan ibu mereka sampai saatnya ibu dapat menimang-nimang cucunya. Tetapi berbeda dengan takdir pada keluarga Pak Martodiharjo.
            Untuk menghibur hatinya, Pak Martodiharjo selesai bekerja mengurus usaha batiknya, dalam waktu-waktu yang senggang pada malam hari, menyibukan diri dengan tembang Jawa dan pada kesempatan terntentu berkumpul dengan masyarakat di kampungnya mengadakan salawatan.
            Lingkungan hidup keluarganya adalah lingkungan orang-orang baik. Mereka sangat menjaga nama dan tingkah laku mereka yang sesuai dengan harkat dan martabat orang-orang yang menjadi kepercayaan dalam lingkupan istana.
            Tembang Jawa yang merupakan bagian dari karawitan Jawa, merupakan jalan untuk pendidikan yang mengaluskan budi pekerti manusia. Kebudayaan rohaniah dan adab dapat mengahaluskan pendengaran, karena pancaindera yang halus pula. Pancaindera manusia yang paling tinggi harkatnya adalah penglihatan dan pendengaran.  Penglihatan memberian pengaruhnya kepada fikiran dan akal, sedangkan pendengaran meresap dan berpengaruh terhadap perasaan dan akhlak. Sebagaimana lapisan terbesar anak-anak Jawa pada zaman Pak Martodiharjo menerima pendidikan dari lingkungan alam sendiri, karena dalam tindak tanduk mereka tidak ketinggalan menyanyikan tembang karawitannya.
            Gesang yang sudah mencapai usia sekolah, beserta saudara-saudarnya, senantuasa terdidik pendengarannya dengan tembang yang dikumandangkan oleh sang ayah. Namun pak Martodiharjo, merasa bahwa kesenian itu hanyalah merupakan alat saja guna  memperhalus budi pekerti, sedangkan yang sungguh-sungguh mampu mengendalikan nafsu serakah dan sifat-sifat yang hanya mementingkan diri sendiri dalam diri manusia, hanyalah agama. Karena itulah anak-anaknya diasuh bersembahyang lima waktu dan mengaji kitab suci Al Quran.
Martodiharjo adalah orang yang terkenal dengan ramah tamah dan tidak pernah berselisih dengan para tetangga. Meskipun dalam mendidik anak-anaknya ia tidak selamanya memberikan kemanjaan, tetapi sekali-sekali mengencangkan kembali disiplin yang agak keras terhadap mereka. Tapi, sebagaimana kata Gesang sendiri, mereka sangat cinta kepada ayahnya itu.
Pusat pendidikan yang pertama adalah keluarga dan rumah tangga dan yang kedua adalah rumah sekolah atau perguruan, yang ketiga yaitu pergaulan dan perkumpulan sesama remaja. Akan tetapi bagi Gesang sudah tidak lagi mengenyam pendidikan yang sejati dan tulus ikhlas dari ibunya. Sebagai anak piatu, ia menerima kasih sayang dari anggota keluarga bahkan sedikit dimanjakan ayah serta kakak-kakanya dan sanak famili yang lainnya. Anak-anak sebaya Gesang harus bersekolah untuk bekal hidupnya apabia berdiri sendiri kelak dalam masyarakat. Mengaji dan bersembahyang tidak ditinggalkan, dan ilmu duniawi kini sudah tibalah pula saatnya untuk dikuasai.
Meskipun keadaan penghidupan bertambah  berat, dan biaya sekolah cukup mahal bagi anak-anak pribumi, namun pak Martodiharjo telah memilih sekolah bagi Gesang, yaitu sekolah dasar Muhammadiyah. Nama perguruan tersebut ialah Standard school Muhammadiyah, letaknya adalah dikampung Punggawan, di depan Museum Pers sekarang(1983).
Sebagaimana dimaklumi, tokoh pendiri Muhammadiyah Kyai Haji Akhmad Dahlan, adalah orang yang bertutur kata lemah lembut, berhati ikhlas dan penyabar. Ia memiliki pengetahuan yang luas dan pandangannya mengenai agama tidaklah sempit dan kolot. Tokoh Muhammadiyah yang mempunyai pengaruh besar itu, mengatakan keliru bahwa orang islam itu hanyalah bersembahyang dan beribadat saja, dan melupakan kehidupan duniawinya. Tohoh itu memiliki cara pendekatan kepada agama bersdasarkna akal, dan ilmu pengetahuan. Tahun 1923 Gesang mulai bersekolah. Bersama kawan-kawannya yang sebaya dari kampung Singosaren setiap hari ia berangkat menuju kampung Punggawan tempat Standard school Muhammadiyah ia berjalan kaki pergi dan pulang dari sekolah. Lama perjalanan kira-klra 15 menit. Tetapi seringkali benra tatkala berangkat ke sekolah Gesang hanya sendirian, karena berbagai macam sebab dan kesempatan.
Ia tidak memakai sepatu atau sandal, melainkan dengan kaki telanjang saja ke sekolah. Pakaian yang dikenakannya adalah jas tutup dari bahan drill dengan kancing-kancing besar dan sarung batik. Tetapi karenaa keadaan, Gesang hanya memiliki satu dua setelan pakaian saja. Maka ia harus hemat dan hati-hati, agar tidak lekas kotor dan lekas robek. Maklumalah, pada zaman itu sangat terkenal taraf penghidupan pribumi yang sangat sederhana, sehingga ada yang mencela pemerintah Belanda, bahwa penduduk bumiputera hidup dari uang sebenggol atau dua setengah sen sehari. Sampai-sampai penelitian medis dikalangan keluarga bangsawan kraton pun, ditemukan kenyataan bahwa putera-putera pangeran juga mengalami keadaan “onderwood”, yaitu kurang gizi. Kalau putera-putera bangsawan yang keadaan keuangannya lebih baik dari orang-orang yang berada dibawah tingkatan itu masih juga menderita kurang gizi dalam zaman kolonial, apalagi anak-anak priayi yang menjadi teman-teman sekampung dan sepergaulan Gesang.
Ia bersekolah dari jam setangan delapan pagi hingga jam satu siang. Lazimnya sebagaimana anak-anak sekolah dasar yang kadang-kadang sambil berlari dan bersendau gurau pulang dari sekolah.
Sesampainya dirumah, pakaian sekolah dibuka dan diangin-anginkan agar dapat dipakai kembali keeskokan harinya. Ia mengganti pakaian dengan pakaian rumah. Tetapi sebelum itu, begitu ia sampai di ambang pintu, pertama-tama dilakukannya adalah berteriak minta makan kepada si Mbok Bon. Ayahnya yang biasanya sudah berada dirumah hanya dengan senyum dalam hati memperlihatkan kenakalan yang wajar dari anaknya itu.
Gesang makan mempergunakan sebuah sendok saja tanpa garpu, pagi-pagi sebelum pergi sekolah, ia mendapatkan sarapan berupa sepiring nasi dengan lauk pauknya. Seusai makan ia mencari bapaknya dan meminta uang jajan untuk di sekolah. Biasanya dari sang ayah yang menaruh rasa iba yang khusus kepada putera bungsunya ini, diberikan uang yang cukup banyak untuk ukuran orangtua, Gesang, yakni dua sen. Tetapi dengan uang dua sen pada zaman itu, jangkauannya cukup lumayan. Gesang membeli jajanan berupa minuman cao, seharga setengah sen, dan yang selebihnya ia memperoleh belangreng (kaspe goreng), bakmi bungkus ketan dan kacang goreng.
Gesang tidak setiap hari ia menerima uang jajan sebanyak dua sen itu. Kadang-kadang kurang dari itu bahkan kadang-kadang tidak mendapatkan uang jajan sama sekali.
            Kalau tidak mempunya uang saku bagaimana, tanya penulis kepada Gesang. Kalau tidak mempunya uang, ya, diam saja, jawab Gesang. Inilah ajaran dari orang tuanyya, agar jangan selalu tangan itu berada diatas. Maksud dari fatwa ini adalah agar anak-anaknya jangan hanya meminta dan mengharapkan pemberian orang lain saja, tetapi wajib pula mempunyai harga diri, dengan cara memberi kepada orang lain. Tangan yang diatas iu lebih baik dari pada tangan yang dibawah.
Sebaliknya begitu pulalah keadaan dengan keadaan kawan-kawannya, apabila mereka sedang tidak mempunyai uang jajan, merekapun pergi menjauh dari tempat orang-orang berjualan, agar tidak menerbitkan selera dan tidak ditawari jajan oleh kawan-kawan lain.
Selesai makan suang setelah pulang sekolah, Gesang pergi ke tempat teman-temannya untuk bermain. Ada beberapa nama yang masih diingat dalam kenangannya, yaitu Sayono, Wiyono, Wiyadi, Jimin dan Jombo.
Tetapi yang masih hidup sampai saat ini(1983) adalah Sayono, anak Puspopradonggo abdi dalem kraton Kasunanan, yang menurut keterangan saat itu bekerja pada sebuah hotel di Solo.
Jenis-jenis permainan pada masa itu yang digemari anak-anak adalah aduk kecik(biji sawo kecik), permainan mote, yaitu bahan untuk main oncang, main jirak dan “O-O”, main kekeran atau kelereng, main layang-layang dan gansing.
Sesudah bermain biasanya ia pergi mandi dan pergi tidur. Untunglah penerangan listrik sudah ada dirumah mereka, sehingga untuk belajar malam dan mengerjakan pekerjaan rumah dapat dilakukannya dari jam delapan selesai sembahyang Isa. Dia masih ingat dirumahnya ada jam besar dengan angka-angka romawi dan bunyi loncengnya yang belum seindah lonceng-lonceng zaman sekarang(1983).
Adapun makan malam keluarga itu selalu dilakukan setelah selesai saat maghrib. Kalau ada diantara seperadik Gesang yang makan pada saat berebut senja, lalu ayahnya menasehatkan. Gesang hanya sempat menikmati bangku sekolah pada saat itu sampai kelas lima saja. Gesang tidak dapat menyesali keadaan, semua sudah ada skenarionya, dan manusia harus berikhtiar sekuat mungkin, kalau usaha sudah habis dijalankan, kita tidak dapat berbuat lain kecuali menghadapi kenyataan dengan tenang dan tetap bersyukur kepada tuhan Yang Maha Esa.
Ketika Gesang duduk dikelas V, ia mengalami sakit keras hingga tiga bulan. Tidak pula berobat kepada dokter melainkan memakai obat-obat tradisional saja. Akibatnya ia terpaksa diturunkan kelas dari kelas V ke kelas IV kembali. Karena pertimbangan daya kemampuannya yang sudah dianggap akan merugikan dirinya sendiri, kelak kalau akan diteruskan juga dikelas V padahal selama tiga bulan ia tidak dapat mengikuti pelajaran penting.
Orang yang paling akrab dan paling menyenangkan baginya adalah ayahnya sendiri, meskipun si bapak ada kalanya keras sikanya. Gesang mengatakan bahwa justru ia merasa hormat, sayang dan suka menurut kata ayahnya.
Diantara guru-guru disekolah yang disenanginya adalah mas guru bernama Joyosukarto, guru kelas lima atau kelas penghabisan pada perguruan Muhammadiyah tempatnya bersekoah itu. Pada hakekatnya semua guru sekolahnya itu sama menyenangkan baginya. Mereka terdiri dari pria semua dan masih muda-muda. Murid-murid memanggil para guru itu dengan panggilan mas guru.
Pelajaran yang paling menarik baginya adalah tembang Jawa dan menggambar. Ia lemah dalam pelajaran berhitung dan tulisan juga cuma dapat angka lima, paling tinggi enam.
Gesang tidak pernah berkelahi dengan teman-teman di sekolahnya. Selain dari wataknya yang penyabar dan suka mengalah, juga karena hati kecilnya menyuruh ia menjaga kebaikan tingkah laku sebagai anak yang kurang mampu. Hanya dengan saudara-saudaranya kadang-kadang suka berkelakar menyembunyikan layang-layangnya, umpamanya, ia pernah sekali-sekali bertengkar.
Selama masa kanak-kanaknya Gesang pernah satu kali berpergian agak jauh dari kotanya, yaitu ketika berdamawisata bersama kawan-kawan sekolahnya ke Wonogiri dan Prambanan. Gesang masih ingat mas guru yang memimpin perjalanan tersebut ialah Djoyosuharto. Selama perjalanan yang menggembirakan itu, tentunya masing-masing tertarik kepada obyek yang berbeda-beda. Bagi Gesang, alam yang indah sepanjang jalan adalah sungai yang mencurahkan airnya ke Bengawan Solo tatkala ke Wonogiri. Juga para petani yang sibuk mengerjakan sawah, anak gembala yang menggiring ternak bebeknya yang ratusan jumlahnya Candi Prambanan yang merupakan catatan masa lampau itu, meninggalkan pengaruh yang tak terlukiskan dengan kata-kata dalam hatinya. Dia menyaksikan pemandangan baru, kehidupan nyata yang lebih luas dari apa yang pernah diserap oleh kehidupan nyata, dan yang lebih luas dari apa yang pernah diserap oleh pancaindera dan ditangap oleh hati nuraninya adalah ia melihat anak yang sudah piatu, yang mengingatkan dia kepada nasibnya sendiri.
Dia mendengarkan pula di desa Prambanan merdunya suara suling yang melagukan lagu-lagu karawitan yang sangat disenanginya. Senandung itu dalam pendengaran batinya agaknya telah diserapkan sejak dahulu, tatkala ibunya menggendongnya sebelum tidur. Aneh dan sangat halus pesona suling itu. Seperti terlelapkan ia kedalam khayalan yang indah, terngiang-ngiang sampai nada-nada penghabisan meski matanya sudah terpejam.
Pada zaman Gesang berseklah, sampai tahun 1929, di solo belum terdapat pesawat radio. Orang-orang tertentu yang mampu, memiliki gramafon yang mempergunakan piringan hitam. Alat ini sendiri merupakan benda yang aneh bagi anak-anak sebaya Gesang. Lagu-lagu yang diperdengarkannya lebih-lebih lagi mengherankan dan menyenangkan. Karena itulah hampir merupakan acara khusus baginya untuk pergi pada saat-saat tertentu ke depan toko yang menjual gramafon. Untuk menarik selera masyarakat itu, penjualnya memutarkan adegan-adegan wayang orang serta gending-gending yang populer di Solo.
Gesang sendiri belum berminat kepada musik kroncong. Karena baru sekitar tahun 1930 lahir perkumpulan-perkumpulan kroncong di Solo, seperti Marko (Marsudi Rukun Kesenian Olahraga), Monte Carlo, Bunga Mawar, Irama Sehat dan lain-lain perkumpulan-perkumpulan kecil yang cepat berkembang.
Saat meninggalkan bangku sekolah untuk selama-lamanya, merupakan kenangan yang mengharukan pula bagi Gesang. Selama kurang lebih enam tahun ia memperoleh pendidikan dari perguruannya, “Standard School Muhammadiyah” di kampung Punggawan tersebut. Enam tahun memang waktu yang berlenihan, karena sebagaimana diceritakan di muka, Gesang pernah menderita sakit yang lama dan terpaksa turun kelas. Dia sendiri mengatakan bahwa kemampuannya tidak sekuat anak-anak yang lain, teman-temannya yang beruntung dapat melanjutkan pelajaran pada sekolah yang lebih tinggi dan sampai berhasil menduduki jabatan-jabatan terhormat sebagai priayi.
Mulai dari bocah cilik yang buta huruf, guru-guru telah melakukan tugas kewajibannya dengan tekun sampai Gesang dan teman-temannya dapat membaca dan menulis, berhitung. Pendek kata segala jenis bekal ilmu bagi dunia dan akhirat yang amat berguna bagi mereka setelah dewasa kelak, diberikan kepada mereka. Kawan-kawan seiring sepergaulan selama ini, yang pasti berjumpa hampir setiap kali di sekolah, dalam perjalanan pulang pergi, kini akan saling berpisah. Dia tidak akan mendengarkan lagi suara lonceng berbunyi menandakan kelas dimulai, saat berisitirahat dan membelanjakan uang dua sen yang membuat dirinya merasa bahagia, dan menandakan saat pulang ke rumah masing-masing. Gurunya, mas Sadat Joyosukarto, berlinang air mata ketika mengucapkan kata perpisahan yang singkat tetapi mengesankan. Anak-anak pun tidak dapat menahan rasa harunya. Alangkah besarnya nilai pergaulan yang penuh kenangan dan cita-cita yang luhur ini. Jika suatu ketika ia melewati berkas sekolahnya tentu akan mendengarkan murid-murid menyanyikan tembang Jawa yang selama bertahun-tahun yang lalu pernah pula mendidik perasaan dan wataknya. Alangkah banyaknya pertemuan dan peristiwa perpisahan semasa hidup yang menyentuh rasa haru kita pada lubuk hati sedalam-dalamnya, tutur Gesang.
Dalam usia 18 tahun, Gesang mulai belajar bernyanyi. Bukan memasuki kursus musik atau semacamnya, karena pendidikan demikian belum ada di Solo pada tahun 1935 itu. Gesang belajar menyanyi dengan cara mendengarkan orang menyanyi serta memperhatikan semua gerak-geriknya. Diperhatikannya pula penyanyi yang memiliki warna suara yang menyenangkan. Dihafalkannya pula syair dari lagu-lagu yang memikat hatinya. Nyanyian serta musik bernada diatonik, yang nada-nada pokonya hampir sejalan dengan laras pelog tujuh nada dalam musik karawitan. Banyak macam pengelompokan nisbih dalam musik diatonik, seperti klasik, jazz, musik hawaiian, dan kroncong. Yang dipilih Gesang adalah yang terakhir itu.
Ia masuk kedalam perkumpulan yang mempersatukan kegiatan musik dan olahraga, khususnya sepak bola. Bukan sebagai pemain alat musik, melainkan sebagai penyanyi kroncong. Karena laras (tangga nada) pelog ada persesuaiannya dengan nada diatonik yang dipergunakan dalam musik di Solo serta bahasa yang sama ke dalam kroncong. Dari sinilah lahirnya lagu-lagu kroncong langgam Jawa, seperti rujak uleg, putri Solo, suwe orang jejamu, dan lain-lainya. Nama perkumpulan yang pertama itu adalah Marko (akronim dari kata-kata Marsudi Rukun Kesenian Olah Raga).
Seperti telah diceritakan sepintas di muka, pada zaman ini perkumpulan musik kroncong tumbuh seperti jamur di Solo, ada yang merupakan orkes besar dengan musik tiupnya dan banyak yang kecil-kecil biasa.
Gesang berpindah-pindah mengikuti berbagai perkumpulam itu, karena berbagai-bagai alasan. Sesudah Marko, ia ikut orkes Sinar Bulan, dalam tahun 1938, kemudian perkumpulan Monte Carlo (1940) orkes Bunga Mawar dan yang terakhir, Irama Sehat.
Ada penyanyi kroncong yang terkenal diseluruh Indonesia pada zaman itu sampai saat pecah Perang Pasifik, yaitu S.Abdullah, suaranya dijuluki “suara emas”. Lagi-lagi yang dibawakannya banyak berisi senandung perasaan, keindahan yang membawa khayalan kepada suasana tamasya yang jauh tak terlupakan oleh hampir semua pencinta musik kroncong antara lain adalah, Kroncong Jangan Curang, Kroncong Mata Setan, Nona Manis, dan lain-lainya.
Tatkala penulis menanyakan kepada Gesang, siapa penyanyi yang menjafi favortitnya sampai sekarang, maka dengan cepat dan pasti ia menyebutkan nama S.Abdullah. Anehnya, meskipun nama S.Abdullah tersebut adalah Said Abdullah. Dengan menyebutkan Es Abdullah tidak duanya sasarannya adalah penyanyi yang menjadi sanjungan Gesang. Bahkan dalam usia 66 tahun, ia masih hafal lagu serta syair yang pernah dikumandangkan oleh S.Abdullah pada masa remajanya.
Suaranya yang memang bagus dan dapat membawakan pula lagu-lagu S.Abdullah pada usia yang muda belia itu, menarik banyak penggemar, tua maupun muda.
Tentu saja saat membina rumah tangga dan keluarga sudah tiba baginya. Ada anak gadis kota BengawanSolo yang menaruh hati kepada Gesang dan orang tua penyanyi muda ini sangat berkenan mempunyai menantu anak gadis tersebut. Gesang yang ditanyakan persetujuannya, mufakat pula dengan pilihan ayahnya itu. Status sosial keluarga anak tersebut jauh berbeda dengan keadaan keluarga Gesang.
Sebagaimana layaknya, peminangan dilakukan dengan syarta dan adat istiadatnya. Pihak keluarga si anak gadis mempertimbangkan masak-masak mengenai bibit-bebet-bobot sang pelamar. Rupanya hasil musyawarah antar keluarga pihak mereka mempertanyakan, apa pekerjaan Gesang, berapa gajinya, apa pangkatnya, siapa keturunanya, priayi atau bukan, dan lain-lain. Alhasil, pinangan ditolak dengan hormat dan dengan alasan Gesang tidak masuk kriteria mereka.
Gesang menyadari keadaanya dan menerima kenyataan yang pahit itu dengan mengucapkan alhamdullah, kalau takdir belum menghendakinya apa hendak dikata.
Pada bulan September 1940, nampaknya roda dunia yang berputar terus, sedang menggelindingkan nasib baik bagi Gesang. Pada saat itu, semua gejala itu, baik bersifat psikologis, dalam suara biola dan suling, secara tegas melambangkan watak dan budi pekerti Gesang yang lemah lembut dan boleh jadi rapuh. Tetapi, pada tahun 1940 itu, setelah berkali-kali merenung dan menyimak ilham yang disampaikan melalui sungai tersebut, terwujudlah melodi dan syair nyanyian Bengawan Solo yang kokoh.
Nama lagu ini dan kumandang nyanyiannya segera bertaburan ke segala penjuru pulau Jawa. Dengan tidak dapat dihalangi oleh ketenaran lagu-lagu lain, Bengawan Solo meluap menyebrangi Laut Jawa ke Kalimantan, Sulawesi, Sumatera dan lain-lain.
Dan pada saat yang bersamaan, setelah diitolak lamarannya dengan seorang gadis kota Bengawan solo tersebut, datanglah gadis yang mau menerimanya dengan apa adanya, gadis tersebut bernama Waliah. Dan mereka pun menikah. Seusai menikah pada tahun 1941, Gesang pun berhasil menyiptakan lagu yang tak kalah populer dengan Bengawan Solo yaitu, “Sapu tangan” melodi dan syair lagu tersebut diciptakannya sendiri. Dan dari lagu-lagu yang diciptakannya tersebut, terdengarlah sampai benua Eropa dan Gesang pun mendapatkan banyak penghargaan dari ciptaanya tersebut.
Ide cerita dari buku ini cukup menarik , penulis mengajak pembaca seolah-olah larut dengan kisah hidup Gesang pada masanya.
Kelebihan buku ini adalah, kisah yang diceritakan pada buku ini cukup jelas dan sangat rinci untuk menceritakan waktu dan tempat kejadian. Dan buku ini sangat memberikan inspirasi kepada pembaca, karena untuk mendapatkan suatu ketenaran itu membutuhkan proses yang panjang dan rumit. Pada buku ini terdapat ketegangan emosional yang dapat membawa pembaca seolah-olah ikut merasakan ketegangan yang diberikan penulis.
Kekurangan buku ini adala, penggunaan bahasa yang kurang komunikatif dan agak sulit untuk dipahami, karena buku ini sudah terlampau lama(1983/1984) sehingga kata-kata pada saat itu sulit juga untuk dipahami. Kurangnya tanda baca, sehingga pembaca sulit juga untuk memahami.

Buku ini adalah buku yang bisa memberikan inspirasi kepada semua orang yang membacanya. Buku ini adalah buku milik Depdikbud yang tidak diperjual belikan. Tujuan dari IDSN sendiri dalam membuat proyek buku-buku seperti ini adalah untuk menimbulkan perubahan yang membina serta meningkatkan mutu kehidupan yang bernilai tinggi berdasarkan Pancasila, dan membina serta memperkuat rasa harga diri, kebanggaan nasional dan kepribadian bangsa. Saran saya adalah, buku ini adalah buku lama yang kata-katanya pada saat itu sulit untuk dipahami, sehingga, sebaiknya buku ini di sunting lagi agar pembaca yang sekarang membacanya bisa lebih memahaminya.

1 komentar:

  1. A-listee videos: 'The best videos and music videos by A-listee
    Watch and connect to A-listee videos of top clips videodl for free here. deccasino Watch all the latest channel videos or septcasino clips from A-listee for the chance to become a

    BalasHapus